Kamis, 23 September 2010

TULISAN PAK BONYONG UNTUK KATALOG PAK BENG


PSICO DISTANC
PSYCHOLOGICALLY
DISTANCE
Bonyong Munny Ardhie

Sudah sejak lama saya mengenal “BENG”
Sejak masa-masa SMAnya dia di Surabaya.
Berawal dari biasa-biasa saja dia dalam menggauli kesenian, Dari awal mula mata pelajaran menggambar sampai pada istilah “melukis” yang cenderung pengertiannya memasalahkan relung-relung yang paling dasar penciptaanya dilaluinya dalam kampus seni rupa. Periode SSRI sampai ASRI, Beng penunjukkan sikap biasa-biasa saja pada kesenian. Tapi waktu dia menanagani kerja sebagai Bos gambar Bioskop (poster film) mulai ada keanehan. Sentuhan kesenian memang ada sedikit-sedikit misi gambar fotografis / komposisi-komposisi serta nilai-niai komersial/ pasar banyak menyentuhnya.
Dari situ dia merubah postur tubuh / artibut /variasi wajah menjadi gondrong alam / kumis: jenggot (brewok) sampai pada botak/ putih (uban) dari carut matur wajah yang kata teman-teman Surabaya: “LARAAHAN YANG MUMPLEK NOK RAINE” (sampah yang tumpah di mukanya).

Menurut saya, ini gesekan spontan dengan alam nuaraninya. Gejala awal dari PSYCHOLOGICALLY secara umum sebuah kecenderuangan extrenitas. Gejala ini diperkuat dengan ia tidak keluar rumah (studionya) kurang lebih 3 tahun (1980an) walau ia menjalankan bisnis poster bioskop.
Setelah gulung tikar bisnis ini (perubahan dari film besar ke twinity one; poster yang memakai print digitala yang lebih murah, lebih komunikatif), disinilah ia mulai coret-coret berkarya pada media kertas.

Pelan-pelan ia tumpuk karyanya. Tanpa intervensi orang lain / kritik-kritik bahkan tepuk tangan, geleng kepala dari teman-temannya. Ia bekerja sendiri, hanya dengan teman-teman dekatnya yang ia percaya, ia mau memperlihatkannya. Endapan-endapan akademis  yang menyelimuti dasar estetiknya ia bekerja sendiri dalam kesunyian, mandiri.
Inilah yang saya tangkap dari istilah psycologiclly estetik pada jiwa keinginan berontak; bicara ego individual serta extrimitas pribadi, yang tak terkontrol oleh alam ke”umum”an menjadi murni. Psicologi ayang sangat individualis terlahir begitu saja. Ini yang sebetulnya menarik dalam dunia kesenian.
Beng seakan-akan sudah lengket dengan goresan-gorean naïf. Karya-karyanya ini berawal dari tak terpisahannya rasa aestetik dab gemuruh nuraninya. Menjadikan mengental dalam tumpukan kertas apa saja yang ada padanya.
Periode ini memang sangat menarik untuk disimak. Bila ia bicara selalu diukur oleh dirinya sendiri. Walau ia melahap buku-buku apa saja dari pengetahuan aetetik; filsafat; bahkan agama atau alam pun alam-alam mistik; ia selalu tokohkan dirinya.
P.D (Percaya Diri)nya meledak-ledak melebihi takaran-takaran umum. Kegilaan pandangan yang selalu mewarnai tingkah laku dan sepak terjangnya.

Tapi begitu tiba-tiba ia ingin pameran tunggal, ingin memperlihatkan pada orang lain, ingin diukur individualnya. Maka ia sudah berpikiran lain. Seakan-akan ia ingin mengetahui “kontempoter”  orang lain, ingin tepuk tangan, gelengan kepala , decak keheranan orang lain diluar dirinya. Dari yang memuji sampai memaki ia ingin dengarkan komentarnya. Ia mulai membuka diri, mulai berdiskusi tentang karya-karyanya dan dirinya.

Tidak seperti dulu, sejak awal karyanya yang naïf sangat individual sampai saya katakan “PURBA” ini sangat menarik untuk diteliti. Melekatnya kegelisahan psycis yang tak ada jarak. Jarak antara konsep artistik dan ekspresi, menyatu menjadikan karya-karya Beng menarik (tahun2000). Beng lahir dengan keutuhan karyanya.

Setelah itu terjadi perubahan-perubahan yang agak signifikan, yaitu sejak berfikirnya bagaimana penyajiannya, bagaimana supaya karya-karyanya tersebut menarik, terbaca oleh orang lain, dimengerti, bahkan ditepuktangani, dipuji, menjadikan strategi baru yang mulai mewarnai karya-karya Beng.

Karya-karyanya tertata rapi di ruang pameran dari lantai sampai ke langit-langit ruang. Walau tak ekstrim sesuai dengan pribadinya. Ditumpuk diletakkan pada fustek walaupun karyanya bukan patung, ditaruh berserakan laksana sampah. Inilah pikiran yang contemporer, yang kekinian, yang berhubungan dengan masyarakat yang dipertimbangkan dengan pasar, bahkan yang diraup sampai mendunia.

Karya-karya Beng pelan-pelan sudah mulai berjarak dengan konsep-konsep awalnya. Konsep-konsep individualnya (psycodistanc) yang mewarnai karya Beng ini saya anggap karya “kontemporer”, sudah bukan lagi “individualist”, bahkan sudah bukan Purba lagi.’

Tapi bagaimanapun karya-karya Beng selalu menarik bagi saya.
Ketelanjangan itu sekarang sudah berstrategi.



Selamat Menikmati,
Studio Joso, 2010


Bonyong Munny Ardhie


Salam buat
Teman-teman komunitas
Sanggat Tanah Liat
Ugo dan keluarganya