Selasa, 29 Juni 2010

Love

MYE. Ning Yuliastuti
"Love"
200 x 180 cm
Mixed Media on Canvas
2010

Senin, 28 Juni 2010

What a Girl Desire…

Telor Pedes
60 x 40 cm
Acrylic on Canvas
2010


Perempuan dengan segala keistimewaannya telah sejak awal menjadi gender pendamping yang dalam setiap masa melakoni porsinya. Benarkah itu? Ah, para pemuja perempuan, pemerhati perempuan, bahkan para anti perempuan yang notebene dilahirkan dari rahim perempuan, dan tentu saja perempuan itu sendiri tak akan ada habisnya mewacanakan tentang keistimewaan perempuan. Wah, perempuan terus…, Setidaknya terdapat istilah yang dapat mejembatani dan menjadi salah satu fase dalam berhubungan antara perempuan dan lelaki yaitu kawin.
Selama ini kita mengenal istilah kawin sebagai proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat untuk mewariskan ciri-ciri suatu agar tetap lestari setidaknya secara harfiah maupun nilai-nilai sosial di lingkungannya, tak perlu berpanjang lebar juga karena dalam fase tertentu segala sesuatunya teralami sebagaimana manusia terciptakan dilengkapi dengan jiwa dan hasratnya dan lingkungan memberi koridor beserta segala aturan, sangsi, gossip, kasak-kusik, sindiran, cibiran yang pada tahap-tahap tertentu sama sekali tidak berguna. Atau akankah kita mau memaknai kawin yang juga digunakan sebagai istilah hubungan seksual antara dua ekor hewan dengan segala laku dan gayanya, ha2, kalianlah yang paling tahu selera dan interpretasi masing-masing, sementara istilah kakawin kali ini oleh komunitas Pintu Mati digunakan sebagai rangkaian kontekstual melalui bahasa visual masing-masing dalam menterjemahkan kata kawin dan lawan gendernya. Setidaknya seperti itu yang yang tertangkap dari beberapa kali pertemuan dengan bapak-bapak penunggu Pintu Mati yang sedang puber kedua katanya, ha2. Selamat atas kenormalannya.


Mbah Kawi dan istri …
Pada suatu sore, tersebutlah seorang kakek bernama mbah Kawi sedang duduk di kursi licak dari bambu di depan rumahnya. Ia baru saja melepas anak cucunya yang selesai menjenguk. Sekali-kali ia menengok ke jendela terbuka sehingga dapat dilihatinya istri yang terbaring karena sudah tiga bulan sakit karena usia tuanya. Meski sakit ia masih membuatkan segelas teh dan mengantarkan ke depan. Mbah Kawi yang tau istrinya tertatih-tatih menghantarkan teh sama sekali tidak melarang istrinya tersebut meski hatinya ingin sekali, dan seperti biasa ia nikmati teh itu hingga dingin berampas. Setelah malam menjelang si kakek merapikan selimut istrinya yang telah tertidur duluan untuk kemudian ia berbaring di sampingnya…
Saat sinar pagi nenembus atap genteng, membangunkan si nenek untuk segera ke dapur, tetapi ia teringat kalau kayu bakarnya telah habis dan beranjak membangunkan mbah Kawi agar pergi mencari kayu bakar. Ia menarik selimut si kakek tapi tidak mau bergerak… saat di sentuh tubuhnya ternyata dingin… saat diguncang tubuhnya ternyata sudah kaku…
Konon menurut tetangga belum ada tujuh hari kematian mbah Kawi, sang nenek juga juga menyusul…

Susanto

WONDER WARNMAN ketika wanita dalam buaian budaya pop




oleh. Susiawan haryanto*

WONDER”WARM”MAN
RABER, AKRILIK, SPRAY PAINT ON CANVAS
230 X 320 CM
2010


Dalam era industri dan jejalan moderenitas kekinian wanita menjelma menjadi sebuah produk dalam etalase-etalase kapitalis,ia (baca:wanita) dikemas dengan stigma bahwa wanita sebagai rangsangan, daya tarik, hingga menjadi pemuas konsumen sebuah produk. Dunia periklanan apapun produknya hampir nyaris semua produknya menggunakan kemolekan, keseksian dan sensualitas wanita sebagai ujung tombak penarik (perangsang) sebuah hasil produksi. Ketika sensualitas wanita sudah menjadi bagian dan tujuan dari ruang benak konsumen, maka secara sadar maupun tidak hal tersebut menempatkan/memposisikan wanita layaknya sapi perahan untuk pemuas hasrat pasar (baca:kapitalis)
Budaya (popular) tersebut lahir dari rahim modernisme dan dibesarkan oleh industri sebagai instrumen utama kapitalisme sehingga ia (perempuan) punya andil besar membentuk dan memproduksi dinamika kehidupan masyarakat dalam mendefiniskan dan memproyeksikan dirinya. Posisi wanita (sensualitas) begitu sangat mempesona dan merangsang keinginan kita (baca:sebagian besar dari kita) karena dalam benak sebagian dari kita memahami wanita hanya sebatas sexsualitas bukan pada sisi yang lebih dalam dari diri wanita. Pola pikir tersebut begitu sangat membabi buta dan liar bermain dalam benak konsumen (kita) hingga pada tataran meng-konsumsi produk industri malah keluar dari esensi produk itu sendiri.

Wonderwomen: Selalu Berdendang Ria Dalam Etalase Mesin Industri
Perubahan akan tututan moderisme menyebabkan sebagian dari kita menjadi manusia yang begitu takluk dan patuh pada hukum mesin-mesin kapitalis. kita menjelma menjadi koloni robot-robot organik dalam gelombang besar dan siklus pasar industri (baca:kapitalis) dengan segala buaian, impian atau bahkan resiko. Kemunculan wanita sebagai panglima besar sirkus pasar kapitalis merupakan sebagaian kecil “produk” gerakan feminisme. Dalam pandangan idelistik menyatakan bahwa feminisme digerakan oleh suprastruktur yaitu kesadaran tentang adanya ketimpangan, ketidakadilan gender. Tetapi justru dalam pandangan materialisme budaya mengatakan bahwa gerakan feminisme tersebut lahir dari infrastruktur ,yaitu oleh produksi dan reproduksi secara masif. Dalam hal ini (menurut: materialis budaya) perkembangan gerakan feminisme begitu sangat didukung adanya media dan teknologi informasi sehingga gagsan akan feminisme nyaris tidak ada sekat budaya, terotorial dan waktu.
Perempuan dalam dunia industri selalu menempatkan perempuan sebagai objek (perangsang nilai jual), ia (perempuan) dikemas dan dipertontonkan dengan yang ditonjolkan. Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki budaya patriarki, perempuan disuapi dengan cinta sejati. Opera sabun yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik fashion dan kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada kutub yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk budaya yang menghilangkan identitas budaya dan kreatifitas. Kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi salah satu ciri khasnya

Dikontruksi Feminisme : Wacana Pembalikan Peran
Melihat persoalan akan pergerakan pemahaman dan aktualisasi dari feminisme akhirnya persoalan dari feminisme bukan sekedar berhenti pada tataran kesetaraan gender. Kesetaraan gender haruslah disikapi dengan kearifan dan tidak serta merta meluluhlantahkan kodrat “dua kelamin”. Dalam konteks social-budaya kekinian yang terjadi bukan siapa mengkorbankan siapa dan siapa korban siapa karena pada banyak kasus yang terjadi adalah kepentingan pria selalu dibawah kendali seorang perempuan. Istilah parodi tentang “Istiqomah” ikatan swami takut istri kalo dirumah begitu banyak kita temui untuk mengistilahkan betapa kendali istri begitu kuat dan penggaruhnya terhadap benturan kepentigan swami. Kekonyolan dalam suatu hubungan tersebut malah menjadi produk (dipertontonkan) pada khalayak umum (penikmat media) bahwa kendali perempuan (istri) begitu sangat nyata dalam sebagian besar masyarakat?.
Gerakan feminisme yang awalnya memperjuangkan ‘kesetaraan “ sekarang cenderung mengarah pada isu “perbedaan” dengan tujuan-tujuan perubahan baru yang berkesinambungan dengan “teori-teori” baru pergerakan sosial. Dalam tataran idealistik sebenarnya setiap diri kita (laki-laki, perempuan) mempunyai peran menurut kodrat dan porsi diri, tinggal bagaiman kita mensikapi setiap ruang perbedaan yang ada. Semoga perbedaan kelamin diantara kita bukan selalu menjadi perdebatan untuk disetarakan dan semoga perbedaan itu menjadi kenikmatan setiap diri dari kita dalam menjalani perbedaan itu.








Tahukah anda apa paling murah sekaligus paling mahal di dunia ini?



Jawabannya tak lain adalah “JANJI”, kita sering mendengar dan melihat para pemimpin kita yang sering mengobral janji-janji manisnya untuk memikat hati masyarakat agar memilihnya pada masa-masa pemilu. Disini seakan –akan janji seperti orang yang masuk kampung menadah barang bekas sambil teriak lewat mic, atau bakul jamu keliling yang menggunakan mic 33.000 watt untuk menarik para penonton sambil mengeluarkan jurus2 sulap kelas kampungnya. Lebih tepatnya “janji” itu seperti tumpukan pakaian bekas yang diobral yang sering  kita temui di trotoar  jalan pasar legi.
Janji memang ringan sekali diucapkan bahkan kita sering melakukannya, seperti ketika berjanji kepada pasangan kita…”iya sayang apapun yang kauinginkan pasti aku kabulkan”,…. tapi ketika pasangan kita minta mobil sedang kita tak punya uang apa yang harus kita lakukan? haruskah kita mati-matian bekerja demi menepati janji kita, bahkan sampai harus merampok atau mencuri?!!
Barangkali suatu hal yang wajar apabila kita harus berusaha mati-matian demi orang yang kita cintai. Bahkan kita rela untuk melepaskan kebahagian dunia demi seseorang itu. Alangkah beruntungnya apabila ada wanita yang mendapatkan seorang lelaki yang memiliki sikap gentlemen seperti itu, ataupun sebaliknya alangkah indahnya hidup ini apabila ada seseorang wanita yang dengan tulus ikhlas memberikan kelonggaran bagi pasangannya untuk terus berkiprah dibidang yang disukainya. Kita harus ingat pepatah kuno dibalik kesuksesan pria dibelakangnya pasti ada wanita yang penuh cinta, kesabaran yang mendampingi.
Wanita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan kesempurnaan tubuh. Sebuah anugerah berupa kemolekan dan keindahan fisik serta luasnya cinta, hal itu membawa pasangan jenisnya untuk selalu berempati dan berusaha melindungi dari bahaya. Tapi dibalik itu wanita adalah makhluk yang sangat lemah mentalnya sehingga sering jadi sasaran empuk janji-janji  “palsu murahan”  para lelaki. Sungguh ironis sekali, kehidupan mereka seperti sebuah barang yang ketika sudah usang maka dibuang oleh pemiliknya. Tapi memang kodrat seorang wanita adalah gampang dibujuk dan dirayu[digombali]. Bayangkan saja hanya dengan melihat iklan ada “BIG SALE” ditivi atau dimajalah saja para women itu segera bergegas merayu sang suaminya untuk dibelikan barang yang dia inginkan. Sehingga wajarlah apabila pasar lebih memilih para kaum hawa sebagai target operasinya. Sehingga banyak sekali para wanta dan ibu-ibu yang lebih sibuk ber[fesyen]ria daripada momong anaknya.
Di era yang serba praktis dan canggih seperti sekarang ini, tidak hanya elektronik yang menjadi semakin simple dan mini. Para wanitapun berlomba-lomba untuk selalu tampil mini. Baik pola pikir, maupun pakaian mereka, sebagai imbas dari perkembangan zaman.Tapi tahukah anda apabila kita memandang rok mini mereka tidak usah lama-lama lah sekitar 5 menit saja, pasti mereka akan dengan sinis  mengatakan…iih norak banget  sih loe kayak ndak pernah liat paha ja!??(dengan muka masam dan mulut me-memble). Jadi salahkah kalau para lelaki itu menjadi horny ketika melihat tubuh molek para wanita?sampai terjadi hal yang yang tidak diinginkan?!!.
Kadang saya tertawa geli dan tak habis pikir melihat ibu-ibu gembrot atau wanita yang sudah uzur, dengan susah payah berdandan serba ketat dan mini, kemudian dengan pedenya jalan ke mall. Mereka tidak sadar kalau tubuh mereka itu sudah peot dan paha mereka sudah banyak timbul selulit. Dibenak mereka hanya ingin tampak seksi seperti artis sinetron kesayangannya. Contoh kasus lagi tentang para remaja putri yang menurut saya saltum, ketika dingin mereka memakai rok pendek pas udara panas mereka memakai pakaian komplit, apakah itu bukan hal terbalik? Atau mereka sudah tak takut lagi kena masuk angin atau angin masuk?
Kenyataannya  pengaruh budaya massa telah berhasil menurunkan pola hidup masyarakat kita ke level yang lebih rendah. Ditempat tinggal saya sekarang ini (pontianak dan singkawang) banyak sekali saya jumpai para remajanya khususnya anak-anak SMA, mereka lebih cenderung bergaya ala artis (fesyen ala barat), apalagi   didukung pula dengan postur mereka yang cantik dan memiliki body yang aduhai montoknya. Dalam kegiatan ekstrakurikuler saya kadang  merasa risih ketika menemukan siswi saya memakai pakaian yang menurut saya kurang pantas dipakai disekolah. Hal itulah yang Terkadang  menjadikan saya sebagai guru seni budaya susah untuk menumbuh- kembangkan prinsip kebudayaan lokal. Jadi apabila dari teman-teman ingin melihat dara cantik atau kami biasa menyebutnya “amoi”, mainlah ketempat saya dijamin puas melototnya,..hehehe…karena kecantikan mereka selevel dengan artis-artis ibu kota.sueeer..!!!!
Wanita ibarat sebuah permen apabila dibungkus dengan rapi maka kadar manisnya akan tetap terjaga. Begitupun sebaliknya apabila permen itu selalu terbuka maka pasukan semut akan menyedot habis manis gulanya, dan dapat dipastikan tidak akan ada orang yang mau menyentuhnya lagi. Wanita diciptakan untuk disayangi, dilindungi dan diangkat martabatnya ke level yang lebih tinggi. Sebagaimana kita menghormati ibu yang telah melahirkan kita.
Kebahagiaan seseorang lelaki adalah ketika dia dengan sadar dan pasrah berani menentukan jalan hidupnya dan terus berjuang mewujudkan mimpinya dengan seseorang yang dia cintai, walaupun harus dengan rela berpisah dengan hal-hal yang menjadi kesenangannya (hijrah hati dan fisik). Menurut saya kecocokan antara dua insan adalah tidak dilihat dari kesamaan sikap maupun sifat person-nya, misalnya satunya suka pecel maka satunya juga suka. Akan tetapi pondasi keharmonisan dibangun apabila ada perbedaan pada diri tiap pasangan yang disikapi dengan kedewasaan, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing, perbedaan itu akan  menjadi sebuah unity harmonic. Perbedaan merupakan suatu nikmat mencapai kesempurnaan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan sebuah kesadaraan untuk saling berbagi. Komitmen seperti ini adalah harga yang pantas dari sebuah hubungan serius.
Kesakitan, kesendirian, kebosanan, mandeknya kretivitas, jauh dari komunitas adalah sebuah irama yang mengalun harmonis, dan saya berusaha untuk tetap bersyukur. Pintu terwujudnya sebuah impian adalah ketika kita sudah merasa aman dan nyaman soal cinta. Salah satu kebahagiaanku dalam hidup ini adalah karena dia tahu “cintaku” bukan  hanya untuknya.

hanung
Singkawang, 3 juni 2010

PINTU MATI DALAM SATU DASAWARSA



Sepuluh tahun, umur yang bisa dibilang tidak sedikit meskipun juga belum dianggap cukup matang. Dalam waktu yang 10 tahun tersebut, pintu mati sebuah kounitas Seni Rupa di Kota Solo, mencoba untuk memberikan warna bagi tempat kelahirannya pada yang pameran kali ini mengambil tema “Kakawin Kawin”. Diadaptasi dari salah satu puisi W.S Rendra berpusat pada seluk beluk perempuan. Apa itu perempuan, siapakah dia, dimana saja letak dan apa saja kiprahnya. Sampai sejauh mana perannya dalam mengemban tugas kodratinya serta beragam pernak pernik yang ada disekelilingnya.

PENGARUH DARI BALIK LAYAR
Perempuan, banyak sudut pandang yang menarik darinya sejak hawa diciptakan, tak lepas peran dan pengaruh ditebarkan.
Dunia penuh warna dan dinamika,meluncur bersama dengan waktu. Ini terjadi diantaranya baik langsung atau tidak disebabkan oleh daya tarik perempuan. Waktu selalu membentuk garis lurus yang tak mungkin ketemu titik awalnya, pelan ,pasti dan kejam sebagai partner lelaki, perempuan juga sangat memberi warna dalam kehidupannya. Dalam tata kenegaraan sudah banyak memberi bukti mereka para wanita memberi atmosfer baru dalam perpolitikan. Lebih jauh kedalam kita ingat bahwa “majunya sebuah negeri tergantung pada perempuan dan hancurnya sebuah negeri juga dari pengaruh perempuan” peran tersebut memang tidak terlihat secara langsung dan kasat mata, tetapi akan jauh lebih memberi warna dampak dan berdampak yang teramat dahsyat. Juga berjalan secara bertahap dan proses yang panjang. Dominasi peran laki-laki tidak serta menyurutkan spirit serta menyempitkan ruang gerak prempuan. Ada ruang yang memang tak tersentuh oleh laki-laki dan ini menjadi tugas khusus bagi wanita untuk mengolahnya seperti udara ia mengisi sela-sela kosong yang tak saja terlihat sederhana, namun apapun bentuknya menjadi sangat-sangat penting maknanya dalam perspektif waktu kedepan. Ia begitu melebur bagai udara dalam kehidupan bahkan tidak menutup kemungkinan ia denyut jantung kehidupan itu sendiri. Ia tak perlu melompat masuk ke dalam arus besar sejarah peradaban hanya untuk “ada dan dipertimbangkan” alam kereta kehidupan. Cukup langkah kecil namun menyentuh jantung waktu, ada satu, dua wanita yang muncul menjadi publik figur, namun itu bukanlah satu-satunya barometer dalam penilaian sukses tidaknya wanita. Ia lebih banyak berada dibelakang layar, namun memegang remote control panggung kehidupan.

PEREMPUAN DALAM SEJARAH
Apa yang kita lihat hari ini, merupakan hasil dari hari kemarin, begitulah seterusnya, berkembang bersama dengan zaman. Tidak ada yang stagnan kecuali ia bersiap untuk tersingkir dari panggung dunia. Sejak awal dunia, setiap zaman melahirkan tokoh-tokohnya. Lahir pula tokoh-tokoh wanita yang berpegaruh terlepas itu dipuja ataupun dihujat. Sejumlah nama yang menghiasi tinta sejarah ada Benazir Bhutto, Aun Sun Kyi (Myanmar) Siti Maryam (bunda Maria), Siti Khadidjah, Cleopatra, Madonna, Demi Moore. Dari negeri sendiri ada R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Megawati. Dari kalangan pewayangan ada tokoh Srikandi dan legenda yang panjang tentang sosok Ratu Pantai Selatan. Ada pertanyaan kecil dan konyol, mengapa yang berkuasa di pantai selatan adalah Ratu bukan Raja, mungkinkan ini salah satu bukti wanita lebih “berkuasa “ dari pada pria? Majapahit pernah melahirkan seorang putri yang menjadi Ratu dialah Putri Tri Bhuwana Tunggadewi.

EKSISTENSI
Berbagai upaya dilakukan untuk “menjadi” wanita tentunya dengan perspektif masing-masing, baik yang orang lain suka atau tidak.
Ada yang berpendapat bahwa menjadi wanita karir diluar rumah adalah kurang baik. Dan masih segudang pro dan kontra tentang berbagai masalah lain. Setiap pendapat boleh-boleh saja,yang terpenting adalah komitmen yang ditunjukan pada publik tentang pendapatnya itu dan tentu saja sebuah konsekuensi yang harus diterimanya. Ada yang menarik dilingkup kehidupan wanita, mereka memiliki apa yang disebut “beauty” yang memungkinkan menjadi magnet luar biasa bagi orang lain. Ada “kecantikan dalam “ dan “kecantikan luar” dua sisi yang saling berlomba-lomba muncul kepermukaan merebut perhatian sekaligus meninggalkan kesan. Menancapkan eksistensi di mata publik.
Eksistensi, itulah tikungan paling dekat yang ingin dicapai, tidak hanya bagi wanita, tapi juga bagi semua. Sangat kodrati bahwa semua mahkluk ingin keberadaannya diakui oleh mahkluk lain. Orang merasa tak ada , tak diakui dan ujung-ujungnya berlomba untuk “menjadi sesuatu” pada taraf tertentu proses ini menjadi stimulus untuk maju selain juga muncul naluri membunuh dan persaingan yang tak sehat. Dari sini bisa dikatakan bahwa eksistensi peran dan pengaruh perempuan tidak ditentukan dimana ia berada sebagai apa ia atau seberapa jauh ia dipandang didepan umum, tapi lebih kpada apa yang ia perbuat. Sebuah kenyataan mendasar bahwa tidak ada individu yang benar-benar sia-sia dan tidak ada yang benar-benar tidak ada.

                                                                                                                              Sidik Ihwani



Sabtu, 12 Juni 2010

Di DADAMU ADA AKU: HIDUP DI ANTARA API CINTA DAN ROMANSA CINTA

di dadamu ada aku
hanya denganmu……
jiwa ini tak pernah mati

Sebait puisi yang aku tulis diatas sebagai ungkapan rasa cinta pada Matahariku, perempuan yang aku cintai sebagai titik tolak dalam berkarya, disaat membaca isyarat tema pameran Pintu Mati, yakni Kakawin Kawin. Aku kali ini mengambil kata “api” dan "wanita" untuk mewujudkan visualisasi karya dalam pameran  ini. Kedua kata, yakni "api" dan "wanita"  bagi aku memiliki beragam makna dalam kehidupan maupun dalam bentuk imagi gagasan menghadirkan bentuk yang multi dimensi. 
Api dan wanita, disepanjang jalan kehidupan manusia, selalu masuk dan merangsek didalam dada setiap manusia, khususnya dalam kehidupanku selama ini. keduanya dapat berupa realitas yang “berwujud“ suatu panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar  dan  menyala atau sebagai ungkapan metafora yang menggambarkan adanya sisi-sisi dan situasi ‘panas’. Karena kenyataan semacam itulah, maka “Api” baik sebagai kenyataan maupun kiasan menjadi multi fungsi. Dari sinilah aku berpijak bahwa, Di dadamu ada api menjadi tema dalam karya-karyaku ini yang aku tampilkan secara visual kedalam bentuk figure wanita yang memperlihatkan (jantung serta bara “api” yang menyala), sekali lagi “api”  bermuatan berbagai metafora yang diisyaratkan kebentuk pose atau gesture vigur wanita. Di dadamu ada api, mengisyaratkan dua hal sekaligus, yaitu : api yang memiliki napas memberi, mengkhangatkan, menyelamatkan, bahkan menyejukkan jiwa. Namun dibalik itu api juga memberi pelajaran kepada manusia akan peringatan , seperti  kalimat “jangan bermain api” awas ada api,  “ aku terbakar api asmara”. Selain itu juga bisa dimaknai sebagai api  yang membakar dan memusnahkan kehidupan. Secara kodrati “Api” dimaknai dua hal : pertama, api sebagai semangat jiwa dalam kehidupan. Kedua, api sebagai bara yang sangat berbahaya. Di dadamu ada “api” berposisi sebagai sebab dan akibat sekaligus. Sebagai sebab, karena ia berpotensi sebagai “membakar”, sebagai akibat api dapat membuat siapapun sebagai kurban. Api menjadi ancaman, membakar, menghangatkan pikiran, peraaan siapapun bahkan dapat memusnahkan harapan.
Aku juga menagmbil kata "wanita", wanita dalam madyaning bebrayan jawa sering  dimaknai dengan perubahan kata yang memang sepadan, wanita dapat sebagai  : wanodya, wadon, wadu, wadhah, atau menjadi  wadi. Berbagai kosakata bahasa Jawa tersebut diatas mengandung arti , bahwa wanita diperumpamakan sebagai wadah, yaitu sebuah  tempat bersemayamnya wiji (benih kehidupan) serta wadi sesuatu hal yang terbungkus rapat, sacral. Sesuatu yang suci, sakral dan privasi tersebut dapat dibuka dan diketahui hanya orang-orang  yang dianggap pantas untuk mendapatkan kehormatannya., tentu laki-laki yang dicintai sepenu hati, lahir batin. Itu semua sesuatu yang telah berlalu.Dalam perkembangann zaman pada dewasa ini, sebab majunya akan teknologi, infprmasi dan industri, kini makna wanita  berubah. Pada kenyataannya wanita pada zaman ini hanya sebagai  obyek nafsu badani hegemoni laki-laki terhadap perempuan, yang seharusnya suci, sakral dan dihormati kehormatannya, wanita kini menjadi obyek sedemikian rupa, sehingga mudah dibuka dan ditelanjangi, wanita tidak sakral lagi. .Kaum laki-laki telah terlupa, bahwa  kelahirannya didunia, berasal  dari rahim perempuan yang bernama Ibu. Laki-laki kini tak memahami arti cinta dan rasa saling hormat terhadap hakikat wanita.Sebagai ilustrasi, aku contohkan dalam kisah  Mahabarata, konon seorang Prabu Mahabisa hidupnya terkena siku denda jawata,  sebab gara-gara matanya mengintip kemaluan wanita (aurat) dengan tidak senonoh. Pada hal  pada saat itu  sedang dilaksanak upacara sesaji di hadapan Sang Hyang Brahma. Upacara diadakan oleh para dewa, untuk memilih para raja pinilih yang kelak diperbolehkan menempati kahyangan. Prabu Mahabisa, secara manusiawi memang tidak bersalah, ketika saat melakukan puja-puja japa mantra, tiba-tiba datang angin  kencang yang bertiup dan mengakibatkan busana Dewi Gangga tersingkap lebar-lebar, Ndilalah, mata Prabu Mahabisa  sepintas melihat aurat Dewi Gangga, akibat busananya  tersingkap dan terlihatlah kerhormatannya. Padahal saat  itu semua yang hadir dan seluruh para Dewa menunduk khusuk dalam hanyutnya upacara sesaji tersebut, tentu siapapun tidak mungkin dan tidak berani berbuat macam-macam, apalagi melihat sesuatu yang memang diharamkan untuk dilihat, tetapi aneh Prabu Mahabisa, secara refleks matanya melihat keadaan Dewi Gangga telanjang sebagian tubuhnya, akibat tertiup angin. Takdirpun berlaku, keadilan ditegakkan dilangit kahyangan.Para Dewa, yang memang ngerti  sakdurunge winarah, membiarkan mata Prabu Mahabisa liar melihat kemolekan tubuh Dewi Gangga. Keputusan ditetapkan, akhirnya Prabu Mahabisa dan Dewi Gangga dikutuk para Dewa dan untuk turun kembali hidup di mayapada. Di mayapada menjadi Raja Astina yang  bergelar Prabu Prapita, kemudian Dewi Gangga menjadi istri sang Prabu Prapita , yang menjadi cikal bakal dalam menurunkan raja-raja Bharata. dari darah inilah  akhirnya dari waktu kewaktu, dari zaman ke zaman pertikaian, permusuhan, peperangan antar saudara tidak pernah berakhir, puncaknya di Padang Kurusetra terjadi perang dahsyat yang menghabiskan keluarga Bharata, sebab kutukan dewa, akibat para sesepuh mereka melakukan perbuatan yang melanggar aturan Kahyangan, hanya akibat melihat aurat wanita.
Sebagai penanda penghormatan kepada wanita, dalam karyaku   di dadamu ada api mengisyaratkan adanya harapan, cinta, semangat untuk rasa memiliki, kepada perempuan yang dicintai dengan penggambaran bersemayamnya api spirit cinta dan romansa, yang tetap menghormati kesucian wanita.  Karya ini aku  lahirkan sebagai penghormatan suci kepada wanita, yang terinspirasi dari puisi Rendra yang berjudul : Hai, Ma!.Inilah spirit puisi selengkapnya,yang mengiringi kelahiran karyaku kali ini.

HAI, MA!
Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.

Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang

tanpa tujuan kemana-mana.
Hawa dingin
masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran.
Tidak ada perasaan.
Tidak ada suatu apa.

Hidup memang fana, ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.

Kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku bicara
tetapi orang-orang tidak mendengar.
Mereka merobek-robek buku
dan mentertawakan cita-cita.

Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.

Hidup memang fana, ma!
itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di savanna
Membuat hidup tak ada harganya.

Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana ke mari.
Mulut berbusa
sekadar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa-basi.
dan orang- orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.
Hidup memang fana
Tentu saja, ma!
Tetapi acrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.

Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
di dalam hidup ini.

Tetapi, ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
dengan puteranya.
Hudup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.

Mengingat kamu, ma,
adalah mengingat kewajiban sehari- hari,
kesederhanaan bahasa prosa
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, ma!
Masing pihak punya cita-cita.
Masing pihak punya kewajiban yang nyata.

Hai, ma!
Apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciunaman di lehermu?
(Masya Allah!
Aku selalu kesengsem
pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
“Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna.”
Wah, aku memang tidak rugi
Ketemu kamu di hidup ini.

Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.
Sudah, ya, ma!

Salam Pintu Mati
Dari jiwa yang tak pernah mati
Ireng Digdo Irianto

Jumat, 11 Juni 2010

WANITA DI ARUS BUDAYA MASSA

Adam Wahida

Menatap Harapan, 
150 x150 cm, Oil and Digital Print, 2010

*] Memaknai Perubahan Budaya
Perubahan kebudayaan selalu menawarkan sesuatu yang baru sebagai sebuah bentuk pemaknaan ulang hingga terjadinya dekonstruksi alur pemahaman pikiran yang banyak tervisualkan dalam idiom-idiom yang menjadi tanda sebuah kebudayaan. Gaya hidup manusia merupakan salah satu ruang yang memberikan kesempatan untuk berbagai efek simulasi dari pemahaman baru tentang kebudayaan. Fenomena untuk membenturkan kosakata (idiom) baru dengan idiom tata nilai budaya yang sebelumnya, untuk mengetahui apa yang bisa disinkronkan atau ditinggalkan, diganti dengan kosakata kekinian. Hal ini melahirkan banyak efek yang tidak hanya bersifat individual namun telah merambah ke lingkungan sosial yang lebih luas.
Dimulai dengan kegagapan terhadap perubahan, simulasi-simulasi ceroboh yang dilakukan tanpa kesadaran dan pemaknaan, kedangkalan akan pemahaman sebuah nilai, menjadikan posisi tawar identitas manusia menjadi labil dan cenderung stagnan. Ambiguitas menjadi hal yang sering kita lihat sehari-hari, ketika idealisme kemanusiaan terabaikan oleh simulasi-simulasi yang dilakukan. Apa yang harus diikuti, kosakata apa yang lebih baik untuk dikenakan, idiom mana yang sesuai dengan kepribadian, menjadi hal yang terus harus dicari dalam lautan simulasi.
Pergeseran kebudayaan selalu melahirkan beragam penafsiran dan pemaknaan akan nilai-nilai lama dan kosakata baru kebudayaan yang hadir dalam lingkup masyarakat kita. Shock of the new, adalah fenomena yang muncul dalam setiap tingkah masyarakat kita sekarang. Kegagapan melihat perubahan yang terjadi, munculnya tren yang memaksa untuk terus di update dan diikuti, yang secara tidak sadar akhirnya kita pun terlenakan realitas yang ada di depan mata, hingga pada suatu waktu akan muncul sebuah kesadaran tentang kondisi yang tidak akan ada habisnya untuk dituruti dan diikuti. Titik jenuh yang mulai muncul, hingga hadirnya kesadaran pentingnya pemaknaan terhadap sebuah nilai, akan membawa kita menyadari kembali betapa berharganya tata nilai dari kebudayaan lalu yang telah kita tinggalkan.
Berpijak dari pandangan di atas, saya mencoba untuk memahami kembali bagaimana proses simulasi itu memberikan efek-efek ambiguitas yang terlihat dalam keseharian kita. Tak jarang kita lihat sehari-hari, manusia dengan kepandaiannya, membenturkan tatanan nilai dari sebuah kebudayaan dengan idiom visual kebaruan. Sebagai contoh munculnya idiom visual sepatu highels, cat rambut, rebonding, tatto alis, kawat gigi, hingga senam seks sebagai tanda kekinian (baca:fesyen masa kini) yang dihadapkan pada kekentalan kearifan budaya lokal, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan nilai yang ada.

**] Menatap Pergeseran Peran
Ketika laki-laki mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik, maka wanita secara biologis memiliki kelebihan sebagai ibu. Wanita bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Kelembutan, kasih sayang dan pengorbanan dirinya yang paling sesuai yaitu dalam mengasuh anak-anak dan mengurus rumah tangga. Segala sesuatu yang dilakukannya untuk rumah tangga dan anak-anak sangatlah berharga. Seorang wanita telah memainkan peran dan tugas yang mulia sebagai ibu dari sebuah generasi, ini merupakan peran yang tidak seorang pun pria bisa mendapatkan kehormatan seperti itu.
Adanya perbedaan biologis terbesar antara pria dan wanita menandakan bahwa kedua jenis kelamin ini tidak saling menduplikasi satu sama lain, masing-masing bukan berjuang untuk memenuhi peran yang sama dan bertingkah laku dengan cara yang sama. Sebaliknya mereka saling melengkapi, melaksanakan kelebihannya masing-masing dan menutupi kelemahan pasangannya.
Sejalan dengan perubahan budaya, fenomena emansipasi wanita melahirkan tanggapan yang banyak ragam. Sejak diproklamirkannya, emansipasi tersebut telah mampu membuka ruang derajat sosial wanita untuk sejajar dengan pria. Salah satu budaya masyarakat kita, yang dulu memposisikan ”wanita sebagai teman belakang” telah bergeser menjadi partner yang sejajar dengan pria, bahkan tidak sedikit yang mampu menjadi leader-nya. Seiring dengan perkembangan jaman, emansipasi tersebut menjadi sebuah tren, berbagai kajian dan studi tentang wanita dan gender menjadi perhatian besar. Dalam kondisi seperti ini wanita merasa lebih mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam segala hal.
Selain sifat naluriahnya yang pandai bersolek (feminin), wanita juga ingin menampakkan kecenderungannya untuk tampil tangkas dan cerdas. Berbagai bentuk asesoris yang mendukung agar selalu tampil prima dalam karir berusaha digapainya. Kenyataan seperti ini tidak bisa dihindari, hingga dampak yang terjadi adalah maraknya tren fesyen global dan gaya hidup baru yang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal.
Masih terngiang dalam ingatan, ketika boneka Barbie pertama kali masuk ke tanah ini pada dekade tahun delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal terseretnya kita ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia. Sebuah boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan yang ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun juga orang dewasa. Hasrat membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai suatu gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu, boneka Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas; sebuah gejala dengan bertebarannya realitas-realitas buatan yang nampak lebih nyata dibanding realitas sebenarnya. Permainan tanda-tanda visual tersebut merupakan representasi sekaligus persepsi atas kecenderungan wanita kita yang mencoba menerima masuknya budaya fesyen barat dan mengamininya secara sepintas, sedangkan disatu sisi budaya fesyen lokal masih cukup kuat melingkunginya.
Kenyataan hadirnya fenomena hiperrealitas dalam segala ruang, mulai dari gosip, infotainment, sinetron hingga situs web telah menjadi gaya hidup dan tren yang sulit dihindari. Hanyalah kesadaran yang kuat untuk memilah dan memilih sesuai kebutuhan, menjadi saringan diri. Bagi wanita, tampil feminin memang sudah selayaknya, karena itu kodrati, tetapi jika feminin dicampurkan dengan ke-sexy-an yang fulgar maka secara langsung justru telah merendahkan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia.
Dalam hal ini, marilah kita mencoba untuk memaknai kembali penampilan visual wanita kita ditengah kehidupan yang masih memiliki citra lokalitas, telah berbenturan dengan tatanan fashionable dan gaya hidup global. Bagaimana masyarakat wanita kita sekarang memandang apa-apa yang telah mereka tinggalkan ?. Terdapat suasana ironi yang ingin ditampakkan, sebagai sebuah pembacaan akan mulai munculnya kesadaran masyarakat kita berikut kejenuhan terhadap nilai-nilai kebaruan yang ada. Marilah kita maknai setiap jengkal perubahan yang terjadi !. Bersama publik, kita amati dan pahami proses dialogis antara dua sistem nilai kebudayaan, berikut efek yang terjadi sebagai bagian simulasi kebudayaan yang diberlakukan. Fenomena kegagapan yang menjangkiti setiap manusia, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan sosial masyarakat.
Berkembangnya fenomena budaya massa yang telah melintasi batas kultural, bukan saja berpijak pada sudut pandang sifat konsumtif manusia, namun lebih dari itu permasalahan budaya massa tidak dapat dilepaskan dari permasalahan identitas. Ketika manusia dihadapkan, bahkan terlenakan pada beragamnya pilihan produk kebudayaan maka secara sadar maupun tidak, proses pencarian terhadap identitas yang membangun norma dan tatanan nilai kultural menjadi satu hal yang penting untuk dikaji.





Senin, 07 Juni 2010

KAKAWIN KAWIN: PEREMPUAN MEMERAH, MEMERAH PEREMPUAN



Konon pada awalnya, kehidupan bermula dari adanya perempuan. Tersebutlah dalam berbagai kitab suci langit, disabdakan bahwa perempuan diciptakan Tuhan dengan diberi kelebihan dan kekurangannya oleh Allah yang Maha Rahim. Mempersoalkan tentang kelebihan perempuan adalah dipinjaminya rahim kandungan, kepada perempuan pertama yang bernama Ibu Hawa, untuk nantinya rahim tersebut berguna memroses penciptaan manusia, yang dilahirkan dari rahim Hawa, kemudian beranak pinak yang kemudian jadilah milayaran manusia menyebar diberbagai belahan bumi dialam dunia ini. Dari penciptaan rahim Hawa inilah dunia menjadi ramai. Perempuan yang dipinjami rahim tersebut, selain diberi kelebihan rahim kandungan, juga memang dikodratkan memiliki sifat rasa kasih sayang, utamanya kepada anak-anaknya. Selanjutnya dalam perjalanan ruang dan waktu beratus-ratus abad, kata perempuan menjadi berubah maknanya. Mengapa demikian, karena beberapa kelemahan yang memang ditunggangi setanpun muncul. Ini khususnya terjadi di Indonesia, lebih khusus di Jawa. Kata perempuan yang entah berarti konotatif atau denotative, menjadi makna yang negative semata, apalagi katanya perempuan diciptakan dari “sempalan” tulang rusuk lakai-laki bernama Adam. Kata sempalan, yang berarti sesuatu yang diambil dan mudah patah, kemudian diimagekan, bahwa perempuan selalu bertingkah dengan selera rendah, artinya hanya haus dengan uang dan harta. Dibeberapa wilayah yang beragam, perempuan dianggap bisa bertingkah apa saja, dan sebagai siapa saja, mulai dari sebutan yang berkonotasi postitif atau sebaliknya. Perempuan selalu dihubungkan dengan kata indah, cantik, akrab, ramah, cekatan, berwibawa, berkuasa, kasih, sayang, cinta, kemanjaan, kangen, berwarna-warni, wangi, lembut, nikmat, dan seterusnya. Selain itu perempuan juga dapat dihubungkan dengan kata kejam, seram, penuh makian, rayuan gombal, tipuan, ghurur, iri, dengki, jahiliah, umpatan, pisuhan, pengkhianatan, kesombongan, kong kalikong, perseteruan, komplotan, perselingkuhan, pergundikan, per-riba-an, dan sebagainya.


Dibeberapa riwayat teks kitab suci ,juga disabdakan bahwa perempuan, memang sangat lihai memainkan dunia, mulai dari para Nabi dan Rasul sampai manusia biasa perempuan dengan gampang dan mudah memegang kendali dan membuat kendala hidup dan kehidupan dunia. Lihat Nabi Adam, ia jatuh dari Surga dan melayang didunia mayapada, karena sebab perempuan yang dibisiki iblis, Nabi Nuh gagal melaksanakan misi kerasulannya dan datanglah air bah, karena ulah perempuan yang tidak mau taat dengan Rabbnya, Nabi Ayyub dengan tugas-tugas kenabian dalam bidang kesehatan, ia ditinggalkan istrinya hampir juga gagal melaksanakan misi kenabiannya. Pada rentangan zaman yang panjang dewasa ini, perempuan dikalangan kelas menengah keatas, mengambil peran yang gila-gilaan terhadap laki-laki, munculnya politik pokrol bamboo, makelar korupsi, sogok-menyogok, jilat menjilat, maling kelas kakap dan gurameh, money politics, semua dapat dikatakan bahwa 99% urusan tersebut dikendalikan perempuan. Ingat, secara kelakar perempuan memang suka disogok, dijilat, selain itu karena perempuan memiliki nafsu besar, yang berjumlah sembilan puluh sembilanan. Sementara dikalangan rakyat jelata kelas bawah dewasa ini, perempuan juga dianggap sangat mengganggu pikiran masyarakat yang konon kabarnya laki-laki berperan sebagai pemimpin mereka, tetapi yang terjadi tidak demikian. Lihat di lorong-lorong gelap,di jembatan remang-remang, di pasar-pasar, di pantai-pantai, di tikungan-tikungan, di sudut-sudut kota yang kotor, hidup dan kehidupan mayarakat bawah hampir semua dikendalikan perempuan. Juga didalam dunia modern seperti sekarang ini apalagi, dibalik tampilnya para lelaki dalam politik kekuasaan, ekonomi kapitalisme global, budaya hedonis dunia, kesenian selebritis pasar wisata, teknologi informasi tranportasi hi-tech, agen keilmuan hamba pabrikan, peran perempuan tidaklah kecil. Dari belakang layar perempuan benar-benar mengendalikan “kegiatan dunia” hari ini. Laki-laki diperah perempuan, perempuan memang kodratnya senang diperah laki-laki. Wajah perempuan benar-benar memerah, laki-lakipun memerah dan merekah. Persoalan kakawin kawin dan perempuan, juga mengingatkan kita akan kata-kata bersyarat para filosuf dan agamawan dunia, seperti Kong Hu Cu, Stein Parve, Martin Luther,Henry VII, John Damascene, John Christosom, Gregory The Great, Antony, Benhard, Bonaventure, Jerome, Paus Jeroume, mereka serentak mengatakan bahwa, sebaiknya jauhilah perempuan, jauhkanlah perempuan, karena perempuan sumber segala kerusakan hidup.Keseragaman pendapat para filosuf dan rohaniwan, memberikan isyarat bahwa memang kemisterian perempuan dari zaman ke zaman, tak terbaca dengan baik dan sempurna. Perempuan perlu didekati atau dijauhi, disayang atau dibenci, dikritik atau dinasehati.Inilah persoalan perempuan memerah-merah kehidupan.


Kemudian apa dan siapakah sebenarnya jenis makhluk yang disebut perempuan ini? Jawabnya macam-macam, terkadang muncul jawaban yang rasional, tetapi jarang memunculkan jawaban misteri. Setiap laki-laki menjawab pertanyaan ini dengan jawaban bodoh dan tidak jujur. Jawabannya menurut kepentingan sesaat pada saat itu, misalnya mereka menjawab dengan mengatakan bahwa, perempuan itu empu, perempuan itu empuk, perempuan itu pendamping suami, perempuan itu kanca wingking, perempuan pelayan laki-laki, perempuan itu ibu bagi anak-anak, perempuan itu pemuas dahaga nafsu syahwat angkara murka, perempuan itu dewi ( berarti laki-laki merasa jadi dewa ? ), perempuan itu pencipta surga rumah tangga, perempuan itu sumber maksiyat, perempuan itu lemah, perempuan itu tidak becus memimpin, perempuan itu hamba uang dan harta, perempuan itu kaku karena tak mau dimadu, perempuan itu pelacur ( kalau laki-laki kok disebut belang hidung ), perempuan ratu, perempuan itu anu, dan sebagainya. Ini jawaban subyektif dan konotasi diatas yang mengatakan para laki-laki. Sementara kalau perempuan ditanya, justru ia tidak mau membuka mulut, malah membuka seluruh tubuhnya. Kemudian, pertanyaan berikutnya; inikah misteri perempuan? Pembacaan atas perempuan diatas, memang nyinyir dan tidak adil. Tanyakan saja pada para istri, selir, gundhik, simpanan, pacar, gendhak-an, langganan kita. Inilah misteri perempuan, terkadang minta disayang dan amat penyayang, ketika disayang tiba-tiba perempuan mengkhianatinya.


Namun demikian, jujur saja kaum Adam tidak bisa lepas dengan perempuan, semakin ia ingin melepasnya, maka wajah perempuan hadir menggodanya dan terus mengejar-mengejar disegala aspek pandangan kita. Pada ujungnya, perempuan tetap dielukan, dipuja, dikejar, diburu dan menjadi sumber inspirasi bagi laki-laki. Masa lalu kita pernah dikabari tentang perempuan yang digambarkan dalam kisah dunia pewayangan, perempuan bukan tergambarkan seprti diatas yang cenderung memojokkan, tetapi perempuan dijadikan jalan untuk meraih maqam spiritual bagi kesatria, untuk meraih kesempurnaan hidup,ketenangan dan kebahagiaan, maka ujian pertama adalah memahami perempuan secara benar dan sebenarnya. Kesempurnaan dalam memahami perempuan bagi kesatria, memang jalan ujiannya berkelak-kelok, berliku-liku. Kisah tersebut digambarkan kedalam bait-bait kakawin ( puisi ) yang berisi tentang pencarian makna, hakekat perempuan. Kesatria dalam mempertemukan keinginan yang menggebu, harus menjalani proses laku, agar kelak dapat bertemu ( kawin ) dengan perempuan yang diidamkan, dan itu harus ditempuh dengan pertempuran, perang saudara


Perempuan, kakawin dan kawin dari waktu kewaktu, dari zaman ke zaman, dari generasi tua ke generasi muda selalu menarik untuk dibincangkan, dipersoalkan. Ia bisa dipersoalkan dengan bentuk diskusi-diskusi, proyek-proyek, desain-desain penciptaan karya seni sastra, rupa, tari, teater, musik, atau hanya sekedar guyonan di gardu perempatan di jalan kampung di desa-desa. Medan perjalanan kreatif penulis, yang memang terkonsentrasikan di wilayah seni rupa, ikut mencoba meramaikan tiga kata diatas ( perempuan, kakawin, kawin ) dengan pembacaan perupaan dengan mengambil sudut pandang sesuai dengan perjalanan pribadi, serta pengalaman teknis yang menjadi tuntutan penulis sebagai perupa. Ini tugas yang mengasikkan dan menyenangkan penulis, karena disinilah setiap perupa dengan jujur akan memvisualisasikan tentang perempuan, kakawin dan kawin kedalam media rupa yang ditekuninya. Sekedar contoh karya penulis, yang berjudul Merahnya Perempuan ( Water Colour on Paper, 55 x 55cm x 10 buah karya ), tergambarkan pembacaan sisi kecil perempuan pada karya tersebut secara sengaja atau spontan ( karena kekuatan teknis aquarel cat air ) terlihat menekankan sisi-sisi mimiek wajah perempuan dengan ekspressi emosi yang beragam, seperti marah, takut, geram, tegang, mengharap, menanti, garang dan sebagainya, proses pemvisualisasian dengan teknis tersebut, sempat mengagetkan penulis, karena dapat ditemukan karakter perempuan yang mengejutkan. Pada karya lainnya, yang berjudul Mama Gravita ( acrylic on canvas, 70 x 70cm x 6 panil ) penulis bersama-sama dengan anak didiknya bersepakat membuat karya lukis sebanyak enam kanvas tersebut, dengan mencoba mengangkat tema cinta ( perempuan, kakawin, kawin ) versi anak didik, kemudian penulis berusaha melibatkan diri melukis bersama mereka, dengan penggunaan penanda bahasa mereka, berupa menuangkan kembali potongan-potongan puisi kakawin kawin-nya Rendra yang terkumpul dalam bukunya yang berjudul Empat Kumpulan Sajak kedalam media kanvas, hasilnya menurut pendapat penulis jadilah karya yang nge-pop, lalu lahirlah gaya penuangan tersebut mengingatkan penulis saat usia muda dengan membuat corat-coret naif seperti terlihat pada karya anak didik tersebut.


Kembali dalam mempersoalkan perempuan dengan segala kemisteriusannya, memang memerlukan pendekatan-pendekatan khusus, dialog batin, srawung yang jujur, kepekaan perasaan, kedekatan bukan karena kepentingan, pembacaan diri ditengah jutaan perempuan yang mendominasi kehidupan dengan cara amaliah ilmiah,akan menjadikan pemahaman yang pure, betapa perempuan adalah lagu batin kejujuran manusia, dan manusia itu disebut laki-laki. Semua berawal dari perempuan,tetapi semua berakhir tergantung pada laki-laki. Mau apa? 
FAJAR SUTARDI