Minggu, 30 Mei 2010

PINTU MATI DAN ORANG-ORANG YANG TERCINTA

Sejak Pintu Mati lahir dimuka bumi, banyak orang-orang tercinta yang simpati kepadanya, kehadiran orang-orang tercinta tersebut memacu, memicu keberadaannya, sehingga tumbuh, tumbuh dan tumbuh. Mereka adalah seperti ayahanda Djoko Pekik, kakanda Mamannoor, kang Tisna Sanjaya, kakanda Afrizal Malna, saudara sepuh kita Ardus M.Sawega, mas Agus Fathurrahman, mbah Pine Wiyatno, komunitas Shifaul Qulub Sumberlawang Sragen, saudara sepuh Bonyong Munni Ardhie, mas Antik, ayanhanda Murtidjono, mas Slamet Gundono, ayahanda GM Sudarta, ayahanda Suprapto Surya Darmo, saudara Gigih Wiyono, saudara kita Yant Mujianto, ayahanda Arfial Arsyad Hakim dan sebagainya. 
Sejak Pintu Mati lahir banyak orang yang bertanya, mengapa ia bernama Pintu Mati? banyak yang menyayangkan karena mirip konotasi kuburan, tanpa membawa Hoki, kelompok pemakan manusia, kelompok teater atau dikira kelompok kunthilanak yang menyeramkan. Seperti ayahanda Djoko Pekik saat membuka pameran dibeberapa tempat selalu ngendika kelompok Peti Mati. Nah, inilah hoki, sebab antara hidup dan mati, adalah sama saja, artinya hidup tanpa karya berarti menggali kuburan sendiri.

Info nyinyir  fajar sutardi

Kamis, 27 Mei 2010

PAMERAN VISUAL ART KAKAWIN KAWIN PINTU MATI SOLO

Komunitas perupa Pintu Mati Solo, menandai perjalanan 10 tahun usianya berencana mengadakan pameran visual art dengan tajuk: Kakawin Kawin. Kakawin Kawin mempersoalkan tentang keberadaan perempuan dan problematikanya dewasa ini dimata masyarakat global. Dahulu perempuan dianggap suci dan tidak boleh disemena-mekan,sekarang perempuan menjadi obyek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi  dan komoditas yang cukup menjanjikan. Pergeseran maknapun terjadi, kata perempuan asalnya dari kata dasar empu, dewasa ini dikonotasikan secara semaunya  menjadi empuk bukan empu. Bukan per-empu-an tetapi berubah menjadi per-empuk-an.  Sebelas orang perupa akan ikut meramaikan perhelatan tersebut, di Taman Budaya Surakarta, 19 - 25 Juni 2010. Mereka adalah Adam Wahida, Digdo Irianto, Fajar Sutardi,  Hanung Sapureget, MYE Ning Yuliastuti, Muhammad Yusuf, Nanang Yulianto, Romdhon, Sidik Ihwani, Susiawan Haryanto, Susanto,Tjahjo Prabowo.

UNDANG-UNDANG DASAR KOMUNITAS PERUPA PINTU MATI

Berkarya seni rupa dengan mencari, menggali dan mengembangkan ide dan pemvisualan dengan bebas dan merdeka. Berkarya seni rupa dengan  wawasan luas lintas pemikiran, lintas media, lintas kreasi dan lintas individu. Berkarya seni rupa dengan menjaga spirit originalitas individual, tetapi tetap mengedepankan  persoalan dengan penuh kebersamaan. Berkarya seni rupa dengan kesadaran gerak pribadi dan masyarakat yang melingkupinya, kesadaran akan tempat berpijak dan waktu yang berjalan. Berkarya seni rupa dengan mengedepankan problematika sosial dan budaya kedalam kecerdasan pribadi masing-masing perupa.

Rabu, 26 Mei 2010

PENGHUNI KOMUNITAS PINTU MATI 2000 - 2010

Komunitas PINTU MATI ( 2000 - 2010 ) dihuni oleh banyak perupa, hal ini wajar karena komunitas ini bersifat terbuka ( bisa datang dan bisa pergi, jadi tamu sementara atau menjadi anggota: itu tidak terlalu penting ), yang terpenting memiliki misi, visi, semangat, spirit dan kepentingan yang sama, yaitu memajukan seni rupa di Solo dan dimana saja. Inilah nama-nama penghuni PINTU MATI dari waktu ke-waktu, yang sempat saya ingat : Bambang Supriyono Ogah, Hartono, Suratman, Andriyanto, Qomarudin, Sidik Ihwani, Nanang Yulianto, Fajar Sutardi, Digdo Irianto, Susiawan Harianto, Ali Baki Aman, Insanu, MYE Ning Yuliastuti, Tjahjo Prabowo, Hanung Sapureget, Tri Wahyudi, Otong, Ridho Byar, Aka Kudus, Adam Wahida, Romdhon, Bonyong Munni Ardhie, Muhammad Yusuf, Susanto, Farhan Siki dll.

10 TAHUN KOMUNITAS PERUPA PINTU MATI SOLO

Perjalanan kreatif  berkesenian ( seni rupa ) pada rentangan sepuluh tahun, bila dipandang dari sisi perjalanan waktu cukuplah panjang-betapa tidak- perjalanan ini  berawal dari rembugan kecil-kecilan beberapa mahasiswa seni rupa yang kebetulan FKIP UNS yang berkeinginan pameran lukisan secara kelompok yang rencananya akan digelar di Taman Budaya Surakarta. Rupanya, mereka bingung ketika sebuah kelompok yang akan berpameran belum punya nama kelompok. Seseorang, pada suatu hari datang kerumah saya untuk dialog soal nama kelompok. Mereka sudah menemukan nama yaitu PINTU, nama itu menarik sekali karena di Yogyakarta kalau tidak salah ingat ada kelompok perupa yang bernama JENDELA, yang waktu itu mereka sempat pameran di Solo. Kemudian saya menambahkan kata MATI, yang kalau digabung menjadi PINTU MATI, Ide penamaan PINTU MATI tersebut, muncul saat saya mendengar Iwan Fals mendendangkan lagu Orang-orang kalahnya SWAMI. Spontan, ide itu diterima oleh teman-teman dan mantaplah kelompok tersebut bernama PINTU MATI. Saya meyakinkan kepada mereka, bahwa para perupa ( khususnya mahasiswa seni rupa FKIP UNS ) haruslah berani mengadakan perlawanan kreatif, terhadap pedasnya krirtikan, bahwa seni rupa FKIP itu mandul, mati, tidak kreatif dan sebagainya. Pelukis Widayat, juga sempat bertanya : Wo, FKIP UNS ana seni rupane to?. Kami semua terperangah, kalau begitu ada apa ini? Ternyata, memang belum dikenal luas, seperti sekarang ini. Nama PINTU MATI menjadi spirit untuk mendobrak kemacetan, kemampatan bahkan kematian kreativitas  dilingkungan seninrupa UNS. Kemudian, nama itu juga menjadi spirit agar para perupa yang masuk dikomunitas ini, selalu membikin pintu-pintu kreatif, agar ruh seni rupa dalam jiwa anggota tidak mengalami mati.Nah, perkara orang bilang nama PINTU MATI tidak hockey, seram, berbau teater, menutup hidup dan hanya mikir mati, itu tak menjadi soal.Yang jelas, secara maknawi PINTU MATI mengandung spirit, agar ruh tidak mati, dan selalu membuat pintu-pintu kreatif. Walau untuk kesana perlu mati-matian, ini terbukti sepuluh tahun, alhamdulillah masih eksis.( fajar sutardi )