Kamis, 23 September 2010

TULISAN PAK BONYONG UNTUK KATALOG PAK BENG


PSICO DISTANC
PSYCHOLOGICALLY
DISTANCE
Bonyong Munny Ardhie

Sudah sejak lama saya mengenal “BENG”
Sejak masa-masa SMAnya dia di Surabaya.
Berawal dari biasa-biasa saja dia dalam menggauli kesenian, Dari awal mula mata pelajaran menggambar sampai pada istilah “melukis” yang cenderung pengertiannya memasalahkan relung-relung yang paling dasar penciptaanya dilaluinya dalam kampus seni rupa. Periode SSRI sampai ASRI, Beng penunjukkan sikap biasa-biasa saja pada kesenian. Tapi waktu dia menanagani kerja sebagai Bos gambar Bioskop (poster film) mulai ada keanehan. Sentuhan kesenian memang ada sedikit-sedikit misi gambar fotografis / komposisi-komposisi serta nilai-niai komersial/ pasar banyak menyentuhnya.
Dari situ dia merubah postur tubuh / artibut /variasi wajah menjadi gondrong alam / kumis: jenggot (brewok) sampai pada botak/ putih (uban) dari carut matur wajah yang kata teman-teman Surabaya: “LARAAHAN YANG MUMPLEK NOK RAINE” (sampah yang tumpah di mukanya).

Menurut saya, ini gesekan spontan dengan alam nuaraninya. Gejala awal dari PSYCHOLOGICALLY secara umum sebuah kecenderuangan extrenitas. Gejala ini diperkuat dengan ia tidak keluar rumah (studionya) kurang lebih 3 tahun (1980an) walau ia menjalankan bisnis poster bioskop.
Setelah gulung tikar bisnis ini (perubahan dari film besar ke twinity one; poster yang memakai print digitala yang lebih murah, lebih komunikatif), disinilah ia mulai coret-coret berkarya pada media kertas.

Pelan-pelan ia tumpuk karyanya. Tanpa intervensi orang lain / kritik-kritik bahkan tepuk tangan, geleng kepala dari teman-temannya. Ia bekerja sendiri, hanya dengan teman-teman dekatnya yang ia percaya, ia mau memperlihatkannya. Endapan-endapan akademis  yang menyelimuti dasar estetiknya ia bekerja sendiri dalam kesunyian, mandiri.
Inilah yang saya tangkap dari istilah psycologiclly estetik pada jiwa keinginan berontak; bicara ego individual serta extrimitas pribadi, yang tak terkontrol oleh alam ke”umum”an menjadi murni. Psicologi ayang sangat individualis terlahir begitu saja. Ini yang sebetulnya menarik dalam dunia kesenian.
Beng seakan-akan sudah lengket dengan goresan-gorean naïf. Karya-karyanya ini berawal dari tak terpisahannya rasa aestetik dab gemuruh nuraninya. Menjadikan mengental dalam tumpukan kertas apa saja yang ada padanya.
Periode ini memang sangat menarik untuk disimak. Bila ia bicara selalu diukur oleh dirinya sendiri. Walau ia melahap buku-buku apa saja dari pengetahuan aetetik; filsafat; bahkan agama atau alam pun alam-alam mistik; ia selalu tokohkan dirinya.
P.D (Percaya Diri)nya meledak-ledak melebihi takaran-takaran umum. Kegilaan pandangan yang selalu mewarnai tingkah laku dan sepak terjangnya.

Tapi begitu tiba-tiba ia ingin pameran tunggal, ingin memperlihatkan pada orang lain, ingin diukur individualnya. Maka ia sudah berpikiran lain. Seakan-akan ia ingin mengetahui “kontempoter”  orang lain, ingin tepuk tangan, gelengan kepala , decak keheranan orang lain diluar dirinya. Dari yang memuji sampai memaki ia ingin dengarkan komentarnya. Ia mulai membuka diri, mulai berdiskusi tentang karya-karyanya dan dirinya.

Tidak seperti dulu, sejak awal karyanya yang naïf sangat individual sampai saya katakan “PURBA” ini sangat menarik untuk diteliti. Melekatnya kegelisahan psycis yang tak ada jarak. Jarak antara konsep artistik dan ekspresi, menyatu menjadikan karya-karya Beng menarik (tahun2000). Beng lahir dengan keutuhan karyanya.

Setelah itu terjadi perubahan-perubahan yang agak signifikan, yaitu sejak berfikirnya bagaimana penyajiannya, bagaimana supaya karya-karyanya tersebut menarik, terbaca oleh orang lain, dimengerti, bahkan ditepuktangani, dipuji, menjadikan strategi baru yang mulai mewarnai karya-karya Beng.

Karya-karyanya tertata rapi di ruang pameran dari lantai sampai ke langit-langit ruang. Walau tak ekstrim sesuai dengan pribadinya. Ditumpuk diletakkan pada fustek walaupun karyanya bukan patung, ditaruh berserakan laksana sampah. Inilah pikiran yang contemporer, yang kekinian, yang berhubungan dengan masyarakat yang dipertimbangkan dengan pasar, bahkan yang diraup sampai mendunia.

Karya-karya Beng pelan-pelan sudah mulai berjarak dengan konsep-konsep awalnya. Konsep-konsep individualnya (psycodistanc) yang mewarnai karya Beng ini saya anggap karya “kontemporer”, sudah bukan lagi “individualist”, bahkan sudah bukan Purba lagi.’

Tapi bagaimanapun karya-karya Beng selalu menarik bagi saya.
Ketelanjangan itu sekarang sudah berstrategi.



Selamat Menikmati,
Studio Joso, 2010


Bonyong Munny Ardhie


Salam buat
Teman-teman komunitas
Sanggat Tanah Liat
Ugo dan keluarganya

Jumat, 16 Juli 2010

CATATAN KUSS INDARTO : WAHYUDI : MENGINGKARI "KUBURAN" SOL;O


Catatan Kuss Indarto  :
Wahyudi: Mengingkari “Kuburan” Solo

 Kemarin jam 8:31
(sekadar catatan personal untuk Tri Wahyudi yang berpameran tunggal, 17-27 Juli 2010)

[bagian satu]

NAMA dan karya Tri Wahyudi pertama kali saya kenali pada perhelatan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2007. Namanya menjadi salah satu dari sekitar 35 nama seniman yang lolos seleksi pameran tahunan tersebut. Waktu itu, saya sebagai kurator dan perupa Arie Diyanto sebagai co-curator menerima sekitar 600 lebih proposal dari para seniman muda yang berkehendak terlibat dalam pameran. Ada beberapa aturan main yang ingin saya (sebagai Ketua Divisi Seni Rupa) terapkan dalam pameran FKY tahun itu. Antara lain, perhelatan hanya terbuka bagi para seniman di bawah usia 35 tahun, dan tidak menutup kemungkinan bagi para seniman Yogyakarta dan dari luar Yogyakarta untuk berpartisipasi

Poin terakhir itu tampaknya begitu menyedot perhatian bagi Wahyudi hingga dia begitu antusias mengikutkan salah satu karyanya dalam pameran yang kala itu bertajuk kuratorial “Shout Out! Berteriaklah!” Dan menarik pula untuk diingat karena dari 35 nama seniman peserta/karya itu, hanya ada 3 karya lukisan, yakni karya Robi Fathoni, Aji Yudalaga, dan Tri Wahyudi. Saya katakan menarik karena sebagai kurator, saya mencoba bersikukuh untuk mencari sebanyak mungkin “kebaruan dan penyegaran” dalam artefak ekspresi karya para seniman muda. Dan salah satu bentuk “kebaruan dan penyegaran” itu dengan “mengutamakan” karakter karya beserta pilihan-pilihan medium juga tema yang beragam dan sebisa mungkin lepas dari gejala arus besar. Tak mudah memang. Kala itu sebagian besar seniman menggunakan medium yang relatif “baru” (meski jelas tak baru-baru amat) seperti video art, object arts, sneakers art, dan tidak sedikit seni instalasi. Bahkan ada yang mengusung “sawah mini” dalam gedung. Ada karya Indieguerillas, Uji Hahan Handoko, Iwan Effendi, Comic Bomber, Trio Samsul Arifin, David Armi Putra dan Bayu Yuliansyah yang tengah berkolaborasi, Ngurah Udiantara “Tantin”, Dona Prawita, dan masih banyak lagi.

Dan di antara kerumunan karya-karya seperti itulah ada tiga lukisan, salah satunya karya Tri Wahyudi. Lukisan itu semi-komikal. Belum cukup istimewa secara visual, namun seperti menyimpan hal yang cukup berbeda ketimbang kebanyakan karya lain yang serupa. Warna-warnanya pun cukup bersahaja: merah hati dan hijau tua yang sepertinya “diambil begitu saja” dari tube tanpa banyak dibaurkan dengan warna lain. Subyek utamanya figur-figur yang seolah beterbangan dalam satu ruang dengan pemiuhan (deformasi) fisik yang mulai fasih: seenaknya, menyelaraskan dengan alur imajinasi dalam benak. Belum ada “manis-manisnya”, dan justru di situlah sepertinya kebebasan visual itu bergerak dalam karya Wahyudi. Itulah kekuatan karyanya.

Berikutnya, setahun kemudian, karya Tri Wahyudi saya kenali kembali setelah lolos 50 Besar Mon Décor Painting Festival 2008. Sebenarnya malah lolos dalam 25 Besar yang relatif lebih ketat karena 25 karya yang lain merupakan karya dari seniman undangan yang berpartisipasi tanpa seleksi. Sementara karya Wahyudi harus bertarung dengan sekitar 700 karya lain yang datang dari banyak kota di Indonesia. Kebetulan saya salah satu dari tim juri di samping kurator Jim Supangkat, Dr. M. Agus Burhan dan seniman senior, Ivan Sagita. Artinya, pengakuan awal atas masuknya karya Wahyudi dalam perhelatan itu telah ditunjang oleh legitimasi kuat dari tim juri. Meski tak bisa dibilang dengan kemutlakan, namun keberadaan karya Wahyudi dalam event itu dimungkinkan memberi implikasi yang baik bagi perjalanan kreatifnya yang bergerak dari Solo, kota “pinggiran” dalam seni rupa di Indonesia. Wahyudi pasti sadar dengan posisi tersebut.

[bagian dua]

WALAUPUN berjarak hanya sekitar 64 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan kereta api Pramex, namun perkembangan seni rupa di kota Solo (= Surakarta) kurang seprogresif tetangganya, Yogyakarta. Bahkan kalah riuh dibanding kota Semarang. Sama-sama memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan tinggi, sama-sama dianggap menjadi sumbu dan simbol kebudayaan Jawa, namun pada perkembangannya Yogyakarta-Surakarta masing-masing memiliki kelebihan yang berbeda. Mereka menemukan pilihan masing-masing yang tak seutuhnya sama dan setara. Tri Wahyudi, anak muda kelahiran Surakarta, 11 November 1986 ini pun mengakui. Dalam jagad seni tari, Kota Bengawan ini jelas dianggap telah melahirkan sekian banyak empu. Sementara di ranah seni rupa, Solo tertinggal sangat jauh ketimbang Yogyakarta yang melaju pesat.

Kalau kemudian ditelusuri, memang, ada problem titik berangkat historis yang timpang jauh satu sama lain. Yogyakarta memiliki ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang lahir kurang dari lima (5) tahun setelah usia republik ini setelah terbit surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949, dan diresmikan 15 Januari 1950. Sementara Solo baru memiliki kampus seni, yakni Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), setelah terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 068/1964 tertanggal 15 Juli 1964. Dan Jurusan yang berkait dengan seni rupa baru dibuka bertahun-tahun kemudian.

Berdirinya sebuah kampus seni sudah barang pasti pantas dicatat karena kemudian banyak sekali pergeseran, perubahan dan geliat dinamika seni juga tak sedikit ditentukan dari sana. Mungkin bukan sepenuhnya karena tata aturan, sistem birokrasi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan belum tentu semuanya mampu menjadi roda perubahan itu. Melainkan lebih karena kampus berangsur-angsur menjadi ruang sentrum bagi berkumpulnya banyak gagasan dan meluapnya pengharapan yang kemudian lahir dari banyak orang muda (atau yang tetap merawat kemudaan) untuk berpikir terus melestarikan kemajuan. (Kampus, pasti, hanya satu gelintir soal dilaur hal lain yang juga sangat berpengaruh seperti suprastruktur dan infrastruktur pendinamisasi seni rupa).

Dalam segala kelebihan dan kekurangannya, Wahyudi mengaku merasa beruntung bisa masuk di Program Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2004. Sebelumnya, selama kurang lebih setahun aktif di Sanggar Kalpika, Yogyakarta. Dia merasa, inilah saatnya berbuat yang lebih baik untuk mengembangkan diri dan kariernya. Dalam kampus dia banyak bertemu dengan para dosen, terutama yang senior, yang kelak dirasakannya telah banyak memberi pembekalan penting bagi perjalanan kreatifnya. Dengan I Gusti Ngurah Nurata, Wahyudi banyak member tumpuan proses pembelajarannnya pada masalah-masalah teknis melukis. Dan bersama Bonyong Munni Ardhie, dia merasa menemukan titik hubung proses pewacanaan dalam dunia seni rupa yang ditemuinya antara praktek di lapangan dan dari dalam diktat-diktat kuliah. Kedua dosen ini—yang kebetulan sama-sama alumni ASRI Yogyakarta—memang seperti menjadi “legenda” bagi para mahasiswa seni rupa di ISI Surakarta. Para dosen lain, termasuk yang muda, tentu saja juga memberi peran yang cukup besar pula bagi proses pembentukan pola berpikirnya. Ada sosok seperti Sofwan “Kipli” Zarkasi yang disebutnya cukup memberi pandangan yang berbeda dalam menatap kerja kreatif sebagai seniman.

Di luar itu, seperti halnya kebanyakan mahasiswa lain, Wahyudi mencoba aktif di banyak aktivitas. Pada kurun awal dia melihat setidaknya dua komunitas seni rupa yang paling aktif dan cukup berpengaruh di kota Solo, yakni Kelompok Bim Salabim (ISI Surakarta) yang dikomandoi oleh teman seangkatannya, Pithut Saputra, dan Kelompok Banting Stir (Seni Rupa UNS, Universitas Negeri Solo). Wahyudi sesekali mengikuti aktivitas yang dibuat 2 kelompok tersebut meski tidak sangat intens. Mereka banyak bergerak untuk membuat aktivitas seni di “jalanan” seperti membuat mural di sebuah kawasan, pameran seni dengan material pameran yang tidak konvensional, dan semacamnya.

Karena bukan pendiri dan tak menjadi “anggota tetap” dalam komunitas itu, maka Wahyudi pun dengan bebas bisa bergerak seperti yang dimauinya untuk masuk dan keluar mengikuti minat dan intuisinya. Merasa telah cukup “menyimak” komunitas itu, dia bersama 25 kawan seangkatan dan sejurusannya membuat kelompok Ranting Seruni. Sayang kelompok ini tak cukup kuat kuat disokong oleh pemikiran-pemikiran kreatif yang mendasarinya sehingga kegiatan dan pencapaiannya pun tidak banyak bergaung dalam ruang-ruang pendengaran masyarakat seni yang lebih luas. Juga, sayangnya, tak cukup awet bertahan. Maka, tak lama kemudian hanya tinggallah nama Ranting Seruni itu. Kelompok yang kemudian sempat “dihinggapi” Wahyudi adalah Kelompok Pintu Mati yang diprakarsai oleh Ning Yuliastuti, salah satu dosen yang kebetulan istri dosen dan perupa Bonyong Munnie Ardhi.

[bagian tiga]

PADA tahun-tahun terakhir di masa studi di ISI Surakarta Wahyudi seperti telah menemukan banyak kemungkinan jalan yang bisa dilewati untuk membangun karir dan reputasinya sebagai seniman. Kesadaran bahwa tak akan mungkin banyak berkembang andai hanya mengandalkan jaringan di dalam kota Solo menebalkan spiritnya untuk merangsek mencari celah jejaring kerja kreatif dan sosial yang lebih luas. Mungkin ini bisa dianggap terlalu berlebihan karena sebenarnya Wahyudi tak memiliki komunitas atau kelompok seni yang kuat yang ada di belakang punggungnya. Dia murni bergerak sendiri secara personal sebagai seniman yang memang ingin banyak menimba sistem pengetahuan yang lebih baru dan segar bagi pengayaan kreatifnya sebagai kreator dan sebagai mahasiswa yang ingin berkembang jauh.

Karena tanpa beban menyangga sebuah komunitas inilah maka memuat dua kemungkinan yang bisa datang secara beriringan dan saling berseberangan. Pertama, tak ada target yang cukup jelas untuk membangun jejaring kerja lebih tegas dan berimplikasi pada komunitas yang dibawanya. Dengan demikian, yang terjadi adalah anjangsana personal dengan target personal pula. Pola seperti ini tak jarang menyulitkan bagi partner jejaring yang lain untuk membuat sebuat art project yang lebih serius dan dalam skala yang lebih besar. Kedua, persentuhan dengan jaringan seni dari kota lain seperti diposisikan sebagai “kotak charger baterray” yang diharapkan bisa meng-charge kemampaunnya sebagai seniman, namun bukan sebagai bagian penting dari system jaringan kerja yang tentu membutuhkan energy besar yang dimungkinkan akan menyedot energi kreatif Wahyudi yang lain untuk bekerja sebagai seniman (= pelukis). Pola ini yang tampaknya masih dianut oleh Wahyudi.

Maka, enjoy-lah dia sesekali ke Yogyakarta untuk mengunjungi dan mengobrol dengan beberapa seniman muda yang seumuran atau komunitas seni yang diakrabinya untuk menimba informasi yang lebih baru. Juga ke komunitas seni dan seniman-seniman tertentu di Semarang. Dari sanalah kemudian muncul ide-ide untuk berpameran bersama di ruang-ruang alternatif yang masih membebaskan proses dan target pameran itu dari perangkap pasar, misalnya. Ini sangat penting bagi pertumbuhan seniman muda semacam Wahyudi yang butuh “ruang antara” untuk bergerak di antara dunia yang pragmatis dan dunia yang penuh idealisme dalam seni.

Pameran tunggalnya kali ini kiranya merupakan buah dari ketekunan seorang Wahyudi yang menggali keteguhan dan keyakinannya terhadap pilihan profesi dan hidupnya untuk menekuni dunia seni rupa. Sebelumnya, dalam studi formal di ISI Surakarta, dia juga tekun menempuh jalur-jalur yang semestinya dijalani hingga sempat menerima beasiswa atau PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) mulai semester ke-3 sampai beberapa semester berikutnya. Ini pencapaian tersendiri bagi anak pasangan Daryo-Sulastri ini. Apalagi setelah menginjak semester ke-5 Wahyudi betul-betul telah mandiri dari beban ketergantungan subsidi finansial keluarganya. Karya-karyanya telah “berbuah”, diapresiasi dan direspons dengan baik oleh publik. Dari sinilah publik akan bisa menyimak lebih seksama: Apakah kota Solo memang “selamanya” tidak mampu melahirkan perupa yang matang, ataukah Wahyudi tengah datang dengan membawa kekecualian? Jalan masih sangat panjang. Dan Wahyudi—dan sekian banyak perupa (muda) lainnya—pantas untuk mengingkari anggapan bahwa Solo sebagai “kuburan bagi perupa” dengan membopong secuil harapan. Semoga!***

Selasa, 29 Juni 2010

Love

MYE. Ning Yuliastuti
"Love"
200 x 180 cm
Mixed Media on Canvas
2010

Senin, 28 Juni 2010

What a Girl Desire…

Telor Pedes
60 x 40 cm
Acrylic on Canvas
2010


Perempuan dengan segala keistimewaannya telah sejak awal menjadi gender pendamping yang dalam setiap masa melakoni porsinya. Benarkah itu? Ah, para pemuja perempuan, pemerhati perempuan, bahkan para anti perempuan yang notebene dilahirkan dari rahim perempuan, dan tentu saja perempuan itu sendiri tak akan ada habisnya mewacanakan tentang keistimewaan perempuan. Wah, perempuan terus…, Setidaknya terdapat istilah yang dapat mejembatani dan menjadi salah satu fase dalam berhubungan antara perempuan dan lelaki yaitu kawin.
Selama ini kita mengenal istilah kawin sebagai proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat untuk mewariskan ciri-ciri suatu agar tetap lestari setidaknya secara harfiah maupun nilai-nilai sosial di lingkungannya, tak perlu berpanjang lebar juga karena dalam fase tertentu segala sesuatunya teralami sebagaimana manusia terciptakan dilengkapi dengan jiwa dan hasratnya dan lingkungan memberi koridor beserta segala aturan, sangsi, gossip, kasak-kusik, sindiran, cibiran yang pada tahap-tahap tertentu sama sekali tidak berguna. Atau akankah kita mau memaknai kawin yang juga digunakan sebagai istilah hubungan seksual antara dua ekor hewan dengan segala laku dan gayanya, ha2, kalianlah yang paling tahu selera dan interpretasi masing-masing, sementara istilah kakawin kali ini oleh komunitas Pintu Mati digunakan sebagai rangkaian kontekstual melalui bahasa visual masing-masing dalam menterjemahkan kata kawin dan lawan gendernya. Setidaknya seperti itu yang yang tertangkap dari beberapa kali pertemuan dengan bapak-bapak penunggu Pintu Mati yang sedang puber kedua katanya, ha2. Selamat atas kenormalannya.


Mbah Kawi dan istri …
Pada suatu sore, tersebutlah seorang kakek bernama mbah Kawi sedang duduk di kursi licak dari bambu di depan rumahnya. Ia baru saja melepas anak cucunya yang selesai menjenguk. Sekali-kali ia menengok ke jendela terbuka sehingga dapat dilihatinya istri yang terbaring karena sudah tiga bulan sakit karena usia tuanya. Meski sakit ia masih membuatkan segelas teh dan mengantarkan ke depan. Mbah Kawi yang tau istrinya tertatih-tatih menghantarkan teh sama sekali tidak melarang istrinya tersebut meski hatinya ingin sekali, dan seperti biasa ia nikmati teh itu hingga dingin berampas. Setelah malam menjelang si kakek merapikan selimut istrinya yang telah tertidur duluan untuk kemudian ia berbaring di sampingnya…
Saat sinar pagi nenembus atap genteng, membangunkan si nenek untuk segera ke dapur, tetapi ia teringat kalau kayu bakarnya telah habis dan beranjak membangunkan mbah Kawi agar pergi mencari kayu bakar. Ia menarik selimut si kakek tapi tidak mau bergerak… saat di sentuh tubuhnya ternyata dingin… saat diguncang tubuhnya ternyata sudah kaku…
Konon menurut tetangga belum ada tujuh hari kematian mbah Kawi, sang nenek juga juga menyusul…

Susanto

WONDER WARNMAN ketika wanita dalam buaian budaya pop




oleh. Susiawan haryanto*

WONDER”WARM”MAN
RABER, AKRILIK, SPRAY PAINT ON CANVAS
230 X 320 CM
2010


Dalam era industri dan jejalan moderenitas kekinian wanita menjelma menjadi sebuah produk dalam etalase-etalase kapitalis,ia (baca:wanita) dikemas dengan stigma bahwa wanita sebagai rangsangan, daya tarik, hingga menjadi pemuas konsumen sebuah produk. Dunia periklanan apapun produknya hampir nyaris semua produknya menggunakan kemolekan, keseksian dan sensualitas wanita sebagai ujung tombak penarik (perangsang) sebuah hasil produksi. Ketika sensualitas wanita sudah menjadi bagian dan tujuan dari ruang benak konsumen, maka secara sadar maupun tidak hal tersebut menempatkan/memposisikan wanita layaknya sapi perahan untuk pemuas hasrat pasar (baca:kapitalis)
Budaya (popular) tersebut lahir dari rahim modernisme dan dibesarkan oleh industri sebagai instrumen utama kapitalisme sehingga ia (perempuan) punya andil besar membentuk dan memproduksi dinamika kehidupan masyarakat dalam mendefiniskan dan memproyeksikan dirinya. Posisi wanita (sensualitas) begitu sangat mempesona dan merangsang keinginan kita (baca:sebagian besar dari kita) karena dalam benak sebagian dari kita memahami wanita hanya sebatas sexsualitas bukan pada sisi yang lebih dalam dari diri wanita. Pola pikir tersebut begitu sangat membabi buta dan liar bermain dalam benak konsumen (kita) hingga pada tataran meng-konsumsi produk industri malah keluar dari esensi produk itu sendiri.

Wonderwomen: Selalu Berdendang Ria Dalam Etalase Mesin Industri
Perubahan akan tututan moderisme menyebabkan sebagian dari kita menjadi manusia yang begitu takluk dan patuh pada hukum mesin-mesin kapitalis. kita menjelma menjadi koloni robot-robot organik dalam gelombang besar dan siklus pasar industri (baca:kapitalis) dengan segala buaian, impian atau bahkan resiko. Kemunculan wanita sebagai panglima besar sirkus pasar kapitalis merupakan sebagaian kecil “produk” gerakan feminisme. Dalam pandangan idelistik menyatakan bahwa feminisme digerakan oleh suprastruktur yaitu kesadaran tentang adanya ketimpangan, ketidakadilan gender. Tetapi justru dalam pandangan materialisme budaya mengatakan bahwa gerakan feminisme tersebut lahir dari infrastruktur ,yaitu oleh produksi dan reproduksi secara masif. Dalam hal ini (menurut: materialis budaya) perkembangan gerakan feminisme begitu sangat didukung adanya media dan teknologi informasi sehingga gagsan akan feminisme nyaris tidak ada sekat budaya, terotorial dan waktu.
Perempuan dalam dunia industri selalu menempatkan perempuan sebagai objek (perangsang nilai jual), ia (perempuan) dikemas dan dipertontonkan dengan yang ditonjolkan. Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki budaya patriarki, perempuan disuapi dengan cinta sejati. Opera sabun yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik fashion dan kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada kutub yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk budaya yang menghilangkan identitas budaya dan kreatifitas. Kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi salah satu ciri khasnya

Dikontruksi Feminisme : Wacana Pembalikan Peran
Melihat persoalan akan pergerakan pemahaman dan aktualisasi dari feminisme akhirnya persoalan dari feminisme bukan sekedar berhenti pada tataran kesetaraan gender. Kesetaraan gender haruslah disikapi dengan kearifan dan tidak serta merta meluluhlantahkan kodrat “dua kelamin”. Dalam konteks social-budaya kekinian yang terjadi bukan siapa mengkorbankan siapa dan siapa korban siapa karena pada banyak kasus yang terjadi adalah kepentingan pria selalu dibawah kendali seorang perempuan. Istilah parodi tentang “Istiqomah” ikatan swami takut istri kalo dirumah begitu banyak kita temui untuk mengistilahkan betapa kendali istri begitu kuat dan penggaruhnya terhadap benturan kepentigan swami. Kekonyolan dalam suatu hubungan tersebut malah menjadi produk (dipertontonkan) pada khalayak umum (penikmat media) bahwa kendali perempuan (istri) begitu sangat nyata dalam sebagian besar masyarakat?.
Gerakan feminisme yang awalnya memperjuangkan ‘kesetaraan “ sekarang cenderung mengarah pada isu “perbedaan” dengan tujuan-tujuan perubahan baru yang berkesinambungan dengan “teori-teori” baru pergerakan sosial. Dalam tataran idealistik sebenarnya setiap diri kita (laki-laki, perempuan) mempunyai peran menurut kodrat dan porsi diri, tinggal bagaiman kita mensikapi setiap ruang perbedaan yang ada. Semoga perbedaan kelamin diantara kita bukan selalu menjadi perdebatan untuk disetarakan dan semoga perbedaan itu menjadi kenikmatan setiap diri dari kita dalam menjalani perbedaan itu.








Tahukah anda apa paling murah sekaligus paling mahal di dunia ini?



Jawabannya tak lain adalah “JANJI”, kita sering mendengar dan melihat para pemimpin kita yang sering mengobral janji-janji manisnya untuk memikat hati masyarakat agar memilihnya pada masa-masa pemilu. Disini seakan –akan janji seperti orang yang masuk kampung menadah barang bekas sambil teriak lewat mic, atau bakul jamu keliling yang menggunakan mic 33.000 watt untuk menarik para penonton sambil mengeluarkan jurus2 sulap kelas kampungnya. Lebih tepatnya “janji” itu seperti tumpukan pakaian bekas yang diobral yang sering  kita temui di trotoar  jalan pasar legi.
Janji memang ringan sekali diucapkan bahkan kita sering melakukannya, seperti ketika berjanji kepada pasangan kita…”iya sayang apapun yang kauinginkan pasti aku kabulkan”,…. tapi ketika pasangan kita minta mobil sedang kita tak punya uang apa yang harus kita lakukan? haruskah kita mati-matian bekerja demi menepati janji kita, bahkan sampai harus merampok atau mencuri?!!
Barangkali suatu hal yang wajar apabila kita harus berusaha mati-matian demi orang yang kita cintai. Bahkan kita rela untuk melepaskan kebahagian dunia demi seseorang itu. Alangkah beruntungnya apabila ada wanita yang mendapatkan seorang lelaki yang memiliki sikap gentlemen seperti itu, ataupun sebaliknya alangkah indahnya hidup ini apabila ada seseorang wanita yang dengan tulus ikhlas memberikan kelonggaran bagi pasangannya untuk terus berkiprah dibidang yang disukainya. Kita harus ingat pepatah kuno dibalik kesuksesan pria dibelakangnya pasti ada wanita yang penuh cinta, kesabaran yang mendampingi.
Wanita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan kesempurnaan tubuh. Sebuah anugerah berupa kemolekan dan keindahan fisik serta luasnya cinta, hal itu membawa pasangan jenisnya untuk selalu berempati dan berusaha melindungi dari bahaya. Tapi dibalik itu wanita adalah makhluk yang sangat lemah mentalnya sehingga sering jadi sasaran empuk janji-janji  “palsu murahan”  para lelaki. Sungguh ironis sekali, kehidupan mereka seperti sebuah barang yang ketika sudah usang maka dibuang oleh pemiliknya. Tapi memang kodrat seorang wanita adalah gampang dibujuk dan dirayu[digombali]. Bayangkan saja hanya dengan melihat iklan ada “BIG SALE” ditivi atau dimajalah saja para women itu segera bergegas merayu sang suaminya untuk dibelikan barang yang dia inginkan. Sehingga wajarlah apabila pasar lebih memilih para kaum hawa sebagai target operasinya. Sehingga banyak sekali para wanta dan ibu-ibu yang lebih sibuk ber[fesyen]ria daripada momong anaknya.
Di era yang serba praktis dan canggih seperti sekarang ini, tidak hanya elektronik yang menjadi semakin simple dan mini. Para wanitapun berlomba-lomba untuk selalu tampil mini. Baik pola pikir, maupun pakaian mereka, sebagai imbas dari perkembangan zaman.Tapi tahukah anda apabila kita memandang rok mini mereka tidak usah lama-lama lah sekitar 5 menit saja, pasti mereka akan dengan sinis  mengatakan…iih norak banget  sih loe kayak ndak pernah liat paha ja!??(dengan muka masam dan mulut me-memble). Jadi salahkah kalau para lelaki itu menjadi horny ketika melihat tubuh molek para wanita?sampai terjadi hal yang yang tidak diinginkan?!!.
Kadang saya tertawa geli dan tak habis pikir melihat ibu-ibu gembrot atau wanita yang sudah uzur, dengan susah payah berdandan serba ketat dan mini, kemudian dengan pedenya jalan ke mall. Mereka tidak sadar kalau tubuh mereka itu sudah peot dan paha mereka sudah banyak timbul selulit. Dibenak mereka hanya ingin tampak seksi seperti artis sinetron kesayangannya. Contoh kasus lagi tentang para remaja putri yang menurut saya saltum, ketika dingin mereka memakai rok pendek pas udara panas mereka memakai pakaian komplit, apakah itu bukan hal terbalik? Atau mereka sudah tak takut lagi kena masuk angin atau angin masuk?
Kenyataannya  pengaruh budaya massa telah berhasil menurunkan pola hidup masyarakat kita ke level yang lebih rendah. Ditempat tinggal saya sekarang ini (pontianak dan singkawang) banyak sekali saya jumpai para remajanya khususnya anak-anak SMA, mereka lebih cenderung bergaya ala artis (fesyen ala barat), apalagi   didukung pula dengan postur mereka yang cantik dan memiliki body yang aduhai montoknya. Dalam kegiatan ekstrakurikuler saya kadang  merasa risih ketika menemukan siswi saya memakai pakaian yang menurut saya kurang pantas dipakai disekolah. Hal itulah yang Terkadang  menjadikan saya sebagai guru seni budaya susah untuk menumbuh- kembangkan prinsip kebudayaan lokal. Jadi apabila dari teman-teman ingin melihat dara cantik atau kami biasa menyebutnya “amoi”, mainlah ketempat saya dijamin puas melototnya,..hehehe…karena kecantikan mereka selevel dengan artis-artis ibu kota.sueeer..!!!!
Wanita ibarat sebuah permen apabila dibungkus dengan rapi maka kadar manisnya akan tetap terjaga. Begitupun sebaliknya apabila permen itu selalu terbuka maka pasukan semut akan menyedot habis manis gulanya, dan dapat dipastikan tidak akan ada orang yang mau menyentuhnya lagi. Wanita diciptakan untuk disayangi, dilindungi dan diangkat martabatnya ke level yang lebih tinggi. Sebagaimana kita menghormati ibu yang telah melahirkan kita.
Kebahagiaan seseorang lelaki adalah ketika dia dengan sadar dan pasrah berani menentukan jalan hidupnya dan terus berjuang mewujudkan mimpinya dengan seseorang yang dia cintai, walaupun harus dengan rela berpisah dengan hal-hal yang menjadi kesenangannya (hijrah hati dan fisik). Menurut saya kecocokan antara dua insan adalah tidak dilihat dari kesamaan sikap maupun sifat person-nya, misalnya satunya suka pecel maka satunya juga suka. Akan tetapi pondasi keharmonisan dibangun apabila ada perbedaan pada diri tiap pasangan yang disikapi dengan kedewasaan, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing, perbedaan itu akan  menjadi sebuah unity harmonic. Perbedaan merupakan suatu nikmat mencapai kesempurnaan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan sebuah kesadaraan untuk saling berbagi. Komitmen seperti ini adalah harga yang pantas dari sebuah hubungan serius.
Kesakitan, kesendirian, kebosanan, mandeknya kretivitas, jauh dari komunitas adalah sebuah irama yang mengalun harmonis, dan saya berusaha untuk tetap bersyukur. Pintu terwujudnya sebuah impian adalah ketika kita sudah merasa aman dan nyaman soal cinta. Salah satu kebahagiaanku dalam hidup ini adalah karena dia tahu “cintaku” bukan  hanya untuknya.

hanung
Singkawang, 3 juni 2010

PINTU MATI DALAM SATU DASAWARSA



Sepuluh tahun, umur yang bisa dibilang tidak sedikit meskipun juga belum dianggap cukup matang. Dalam waktu yang 10 tahun tersebut, pintu mati sebuah kounitas Seni Rupa di Kota Solo, mencoba untuk memberikan warna bagi tempat kelahirannya pada yang pameran kali ini mengambil tema “Kakawin Kawin”. Diadaptasi dari salah satu puisi W.S Rendra berpusat pada seluk beluk perempuan. Apa itu perempuan, siapakah dia, dimana saja letak dan apa saja kiprahnya. Sampai sejauh mana perannya dalam mengemban tugas kodratinya serta beragam pernak pernik yang ada disekelilingnya.

PENGARUH DARI BALIK LAYAR
Perempuan, banyak sudut pandang yang menarik darinya sejak hawa diciptakan, tak lepas peran dan pengaruh ditebarkan.
Dunia penuh warna dan dinamika,meluncur bersama dengan waktu. Ini terjadi diantaranya baik langsung atau tidak disebabkan oleh daya tarik perempuan. Waktu selalu membentuk garis lurus yang tak mungkin ketemu titik awalnya, pelan ,pasti dan kejam sebagai partner lelaki, perempuan juga sangat memberi warna dalam kehidupannya. Dalam tata kenegaraan sudah banyak memberi bukti mereka para wanita memberi atmosfer baru dalam perpolitikan. Lebih jauh kedalam kita ingat bahwa “majunya sebuah negeri tergantung pada perempuan dan hancurnya sebuah negeri juga dari pengaruh perempuan” peran tersebut memang tidak terlihat secara langsung dan kasat mata, tetapi akan jauh lebih memberi warna dampak dan berdampak yang teramat dahsyat. Juga berjalan secara bertahap dan proses yang panjang. Dominasi peran laki-laki tidak serta menyurutkan spirit serta menyempitkan ruang gerak prempuan. Ada ruang yang memang tak tersentuh oleh laki-laki dan ini menjadi tugas khusus bagi wanita untuk mengolahnya seperti udara ia mengisi sela-sela kosong yang tak saja terlihat sederhana, namun apapun bentuknya menjadi sangat-sangat penting maknanya dalam perspektif waktu kedepan. Ia begitu melebur bagai udara dalam kehidupan bahkan tidak menutup kemungkinan ia denyut jantung kehidupan itu sendiri. Ia tak perlu melompat masuk ke dalam arus besar sejarah peradaban hanya untuk “ada dan dipertimbangkan” alam kereta kehidupan. Cukup langkah kecil namun menyentuh jantung waktu, ada satu, dua wanita yang muncul menjadi publik figur, namun itu bukanlah satu-satunya barometer dalam penilaian sukses tidaknya wanita. Ia lebih banyak berada dibelakang layar, namun memegang remote control panggung kehidupan.

PEREMPUAN DALAM SEJARAH
Apa yang kita lihat hari ini, merupakan hasil dari hari kemarin, begitulah seterusnya, berkembang bersama dengan zaman. Tidak ada yang stagnan kecuali ia bersiap untuk tersingkir dari panggung dunia. Sejak awal dunia, setiap zaman melahirkan tokoh-tokohnya. Lahir pula tokoh-tokoh wanita yang berpegaruh terlepas itu dipuja ataupun dihujat. Sejumlah nama yang menghiasi tinta sejarah ada Benazir Bhutto, Aun Sun Kyi (Myanmar) Siti Maryam (bunda Maria), Siti Khadidjah, Cleopatra, Madonna, Demi Moore. Dari negeri sendiri ada R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Megawati. Dari kalangan pewayangan ada tokoh Srikandi dan legenda yang panjang tentang sosok Ratu Pantai Selatan. Ada pertanyaan kecil dan konyol, mengapa yang berkuasa di pantai selatan adalah Ratu bukan Raja, mungkinkan ini salah satu bukti wanita lebih “berkuasa “ dari pada pria? Majapahit pernah melahirkan seorang putri yang menjadi Ratu dialah Putri Tri Bhuwana Tunggadewi.

EKSISTENSI
Berbagai upaya dilakukan untuk “menjadi” wanita tentunya dengan perspektif masing-masing, baik yang orang lain suka atau tidak.
Ada yang berpendapat bahwa menjadi wanita karir diluar rumah adalah kurang baik. Dan masih segudang pro dan kontra tentang berbagai masalah lain. Setiap pendapat boleh-boleh saja,yang terpenting adalah komitmen yang ditunjukan pada publik tentang pendapatnya itu dan tentu saja sebuah konsekuensi yang harus diterimanya. Ada yang menarik dilingkup kehidupan wanita, mereka memiliki apa yang disebut “beauty” yang memungkinkan menjadi magnet luar biasa bagi orang lain. Ada “kecantikan dalam “ dan “kecantikan luar” dua sisi yang saling berlomba-lomba muncul kepermukaan merebut perhatian sekaligus meninggalkan kesan. Menancapkan eksistensi di mata publik.
Eksistensi, itulah tikungan paling dekat yang ingin dicapai, tidak hanya bagi wanita, tapi juga bagi semua. Sangat kodrati bahwa semua mahkluk ingin keberadaannya diakui oleh mahkluk lain. Orang merasa tak ada , tak diakui dan ujung-ujungnya berlomba untuk “menjadi sesuatu” pada taraf tertentu proses ini menjadi stimulus untuk maju selain juga muncul naluri membunuh dan persaingan yang tak sehat. Dari sini bisa dikatakan bahwa eksistensi peran dan pengaruh perempuan tidak ditentukan dimana ia berada sebagai apa ia atau seberapa jauh ia dipandang didepan umum, tapi lebih kpada apa yang ia perbuat. Sebuah kenyataan mendasar bahwa tidak ada individu yang benar-benar sia-sia dan tidak ada yang benar-benar tidak ada.

                                                                                                                              Sidik Ihwani



Sabtu, 12 Juni 2010

Di DADAMU ADA AKU: HIDUP DI ANTARA API CINTA DAN ROMANSA CINTA

di dadamu ada aku
hanya denganmu……
jiwa ini tak pernah mati

Sebait puisi yang aku tulis diatas sebagai ungkapan rasa cinta pada Matahariku, perempuan yang aku cintai sebagai titik tolak dalam berkarya, disaat membaca isyarat tema pameran Pintu Mati, yakni Kakawin Kawin. Aku kali ini mengambil kata “api” dan "wanita" untuk mewujudkan visualisasi karya dalam pameran  ini. Kedua kata, yakni "api" dan "wanita"  bagi aku memiliki beragam makna dalam kehidupan maupun dalam bentuk imagi gagasan menghadirkan bentuk yang multi dimensi. 
Api dan wanita, disepanjang jalan kehidupan manusia, selalu masuk dan merangsek didalam dada setiap manusia, khususnya dalam kehidupanku selama ini. keduanya dapat berupa realitas yang “berwujud“ suatu panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar  dan  menyala atau sebagai ungkapan metafora yang menggambarkan adanya sisi-sisi dan situasi ‘panas’. Karena kenyataan semacam itulah, maka “Api” baik sebagai kenyataan maupun kiasan menjadi multi fungsi. Dari sinilah aku berpijak bahwa, Di dadamu ada api menjadi tema dalam karya-karyaku ini yang aku tampilkan secara visual kedalam bentuk figure wanita yang memperlihatkan (jantung serta bara “api” yang menyala), sekali lagi “api”  bermuatan berbagai metafora yang diisyaratkan kebentuk pose atau gesture vigur wanita. Di dadamu ada api, mengisyaratkan dua hal sekaligus, yaitu : api yang memiliki napas memberi, mengkhangatkan, menyelamatkan, bahkan menyejukkan jiwa. Namun dibalik itu api juga memberi pelajaran kepada manusia akan peringatan , seperti  kalimat “jangan bermain api” awas ada api,  “ aku terbakar api asmara”. Selain itu juga bisa dimaknai sebagai api  yang membakar dan memusnahkan kehidupan. Secara kodrati “Api” dimaknai dua hal : pertama, api sebagai semangat jiwa dalam kehidupan. Kedua, api sebagai bara yang sangat berbahaya. Di dadamu ada “api” berposisi sebagai sebab dan akibat sekaligus. Sebagai sebab, karena ia berpotensi sebagai “membakar”, sebagai akibat api dapat membuat siapapun sebagai kurban. Api menjadi ancaman, membakar, menghangatkan pikiran, peraaan siapapun bahkan dapat memusnahkan harapan.
Aku juga menagmbil kata "wanita", wanita dalam madyaning bebrayan jawa sering  dimaknai dengan perubahan kata yang memang sepadan, wanita dapat sebagai  : wanodya, wadon, wadu, wadhah, atau menjadi  wadi. Berbagai kosakata bahasa Jawa tersebut diatas mengandung arti , bahwa wanita diperumpamakan sebagai wadah, yaitu sebuah  tempat bersemayamnya wiji (benih kehidupan) serta wadi sesuatu hal yang terbungkus rapat, sacral. Sesuatu yang suci, sakral dan privasi tersebut dapat dibuka dan diketahui hanya orang-orang  yang dianggap pantas untuk mendapatkan kehormatannya., tentu laki-laki yang dicintai sepenu hati, lahir batin. Itu semua sesuatu yang telah berlalu.Dalam perkembangann zaman pada dewasa ini, sebab majunya akan teknologi, infprmasi dan industri, kini makna wanita  berubah. Pada kenyataannya wanita pada zaman ini hanya sebagai  obyek nafsu badani hegemoni laki-laki terhadap perempuan, yang seharusnya suci, sakral dan dihormati kehormatannya, wanita kini menjadi obyek sedemikian rupa, sehingga mudah dibuka dan ditelanjangi, wanita tidak sakral lagi. .Kaum laki-laki telah terlupa, bahwa  kelahirannya didunia, berasal  dari rahim perempuan yang bernama Ibu. Laki-laki kini tak memahami arti cinta dan rasa saling hormat terhadap hakikat wanita.Sebagai ilustrasi, aku contohkan dalam kisah  Mahabarata, konon seorang Prabu Mahabisa hidupnya terkena siku denda jawata,  sebab gara-gara matanya mengintip kemaluan wanita (aurat) dengan tidak senonoh. Pada hal  pada saat itu  sedang dilaksanak upacara sesaji di hadapan Sang Hyang Brahma. Upacara diadakan oleh para dewa, untuk memilih para raja pinilih yang kelak diperbolehkan menempati kahyangan. Prabu Mahabisa, secara manusiawi memang tidak bersalah, ketika saat melakukan puja-puja japa mantra, tiba-tiba datang angin  kencang yang bertiup dan mengakibatkan busana Dewi Gangga tersingkap lebar-lebar, Ndilalah, mata Prabu Mahabisa  sepintas melihat aurat Dewi Gangga, akibat busananya  tersingkap dan terlihatlah kerhormatannya. Padahal saat  itu semua yang hadir dan seluruh para Dewa menunduk khusuk dalam hanyutnya upacara sesaji tersebut, tentu siapapun tidak mungkin dan tidak berani berbuat macam-macam, apalagi melihat sesuatu yang memang diharamkan untuk dilihat, tetapi aneh Prabu Mahabisa, secara refleks matanya melihat keadaan Dewi Gangga telanjang sebagian tubuhnya, akibat tertiup angin. Takdirpun berlaku, keadilan ditegakkan dilangit kahyangan.Para Dewa, yang memang ngerti  sakdurunge winarah, membiarkan mata Prabu Mahabisa liar melihat kemolekan tubuh Dewi Gangga. Keputusan ditetapkan, akhirnya Prabu Mahabisa dan Dewi Gangga dikutuk para Dewa dan untuk turun kembali hidup di mayapada. Di mayapada menjadi Raja Astina yang  bergelar Prabu Prapita, kemudian Dewi Gangga menjadi istri sang Prabu Prapita , yang menjadi cikal bakal dalam menurunkan raja-raja Bharata. dari darah inilah  akhirnya dari waktu kewaktu, dari zaman ke zaman pertikaian, permusuhan, peperangan antar saudara tidak pernah berakhir, puncaknya di Padang Kurusetra terjadi perang dahsyat yang menghabiskan keluarga Bharata, sebab kutukan dewa, akibat para sesepuh mereka melakukan perbuatan yang melanggar aturan Kahyangan, hanya akibat melihat aurat wanita.
Sebagai penanda penghormatan kepada wanita, dalam karyaku   di dadamu ada api mengisyaratkan adanya harapan, cinta, semangat untuk rasa memiliki, kepada perempuan yang dicintai dengan penggambaran bersemayamnya api spirit cinta dan romansa, yang tetap menghormati kesucian wanita.  Karya ini aku  lahirkan sebagai penghormatan suci kepada wanita, yang terinspirasi dari puisi Rendra yang berjudul : Hai, Ma!.Inilah spirit puisi selengkapnya,yang mengiringi kelahiran karyaku kali ini.

HAI, MA!
Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.

Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang

tanpa tujuan kemana-mana.
Hawa dingin
masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran.
Tidak ada perasaan.
Tidak ada suatu apa.

Hidup memang fana, ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.

Kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku bicara
tetapi orang-orang tidak mendengar.
Mereka merobek-robek buku
dan mentertawakan cita-cita.

Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.

Hidup memang fana, ma!
itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di savanna
Membuat hidup tak ada harganya.

Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana ke mari.
Mulut berbusa
sekadar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa-basi.
dan orang- orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.
Hidup memang fana
Tentu saja, ma!
Tetapi acrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.

Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
di dalam hidup ini.

Tetapi, ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
dengan puteranya.
Hudup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.

Mengingat kamu, ma,
adalah mengingat kewajiban sehari- hari,
kesederhanaan bahasa prosa
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, ma!
Masing pihak punya cita-cita.
Masing pihak punya kewajiban yang nyata.

Hai, ma!
Apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciunaman di lehermu?
(Masya Allah!
Aku selalu kesengsem
pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
“Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna.”
Wah, aku memang tidak rugi
Ketemu kamu di hidup ini.

Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.
Sudah, ya, ma!

Salam Pintu Mati
Dari jiwa yang tak pernah mati
Ireng Digdo Irianto

Jumat, 11 Juni 2010

WANITA DI ARUS BUDAYA MASSA

Adam Wahida

Menatap Harapan, 
150 x150 cm, Oil and Digital Print, 2010

*] Memaknai Perubahan Budaya
Perubahan kebudayaan selalu menawarkan sesuatu yang baru sebagai sebuah bentuk pemaknaan ulang hingga terjadinya dekonstruksi alur pemahaman pikiran yang banyak tervisualkan dalam idiom-idiom yang menjadi tanda sebuah kebudayaan. Gaya hidup manusia merupakan salah satu ruang yang memberikan kesempatan untuk berbagai efek simulasi dari pemahaman baru tentang kebudayaan. Fenomena untuk membenturkan kosakata (idiom) baru dengan idiom tata nilai budaya yang sebelumnya, untuk mengetahui apa yang bisa disinkronkan atau ditinggalkan, diganti dengan kosakata kekinian. Hal ini melahirkan banyak efek yang tidak hanya bersifat individual namun telah merambah ke lingkungan sosial yang lebih luas.
Dimulai dengan kegagapan terhadap perubahan, simulasi-simulasi ceroboh yang dilakukan tanpa kesadaran dan pemaknaan, kedangkalan akan pemahaman sebuah nilai, menjadikan posisi tawar identitas manusia menjadi labil dan cenderung stagnan. Ambiguitas menjadi hal yang sering kita lihat sehari-hari, ketika idealisme kemanusiaan terabaikan oleh simulasi-simulasi yang dilakukan. Apa yang harus diikuti, kosakata apa yang lebih baik untuk dikenakan, idiom mana yang sesuai dengan kepribadian, menjadi hal yang terus harus dicari dalam lautan simulasi.
Pergeseran kebudayaan selalu melahirkan beragam penafsiran dan pemaknaan akan nilai-nilai lama dan kosakata baru kebudayaan yang hadir dalam lingkup masyarakat kita. Shock of the new, adalah fenomena yang muncul dalam setiap tingkah masyarakat kita sekarang. Kegagapan melihat perubahan yang terjadi, munculnya tren yang memaksa untuk terus di update dan diikuti, yang secara tidak sadar akhirnya kita pun terlenakan realitas yang ada di depan mata, hingga pada suatu waktu akan muncul sebuah kesadaran tentang kondisi yang tidak akan ada habisnya untuk dituruti dan diikuti. Titik jenuh yang mulai muncul, hingga hadirnya kesadaran pentingnya pemaknaan terhadap sebuah nilai, akan membawa kita menyadari kembali betapa berharganya tata nilai dari kebudayaan lalu yang telah kita tinggalkan.
Berpijak dari pandangan di atas, saya mencoba untuk memahami kembali bagaimana proses simulasi itu memberikan efek-efek ambiguitas yang terlihat dalam keseharian kita. Tak jarang kita lihat sehari-hari, manusia dengan kepandaiannya, membenturkan tatanan nilai dari sebuah kebudayaan dengan idiom visual kebaruan. Sebagai contoh munculnya idiom visual sepatu highels, cat rambut, rebonding, tatto alis, kawat gigi, hingga senam seks sebagai tanda kekinian (baca:fesyen masa kini) yang dihadapkan pada kekentalan kearifan budaya lokal, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan nilai yang ada.

**] Menatap Pergeseran Peran
Ketika laki-laki mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik, maka wanita secara biologis memiliki kelebihan sebagai ibu. Wanita bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Kelembutan, kasih sayang dan pengorbanan dirinya yang paling sesuai yaitu dalam mengasuh anak-anak dan mengurus rumah tangga. Segala sesuatu yang dilakukannya untuk rumah tangga dan anak-anak sangatlah berharga. Seorang wanita telah memainkan peran dan tugas yang mulia sebagai ibu dari sebuah generasi, ini merupakan peran yang tidak seorang pun pria bisa mendapatkan kehormatan seperti itu.
Adanya perbedaan biologis terbesar antara pria dan wanita menandakan bahwa kedua jenis kelamin ini tidak saling menduplikasi satu sama lain, masing-masing bukan berjuang untuk memenuhi peran yang sama dan bertingkah laku dengan cara yang sama. Sebaliknya mereka saling melengkapi, melaksanakan kelebihannya masing-masing dan menutupi kelemahan pasangannya.
Sejalan dengan perubahan budaya, fenomena emansipasi wanita melahirkan tanggapan yang banyak ragam. Sejak diproklamirkannya, emansipasi tersebut telah mampu membuka ruang derajat sosial wanita untuk sejajar dengan pria. Salah satu budaya masyarakat kita, yang dulu memposisikan ”wanita sebagai teman belakang” telah bergeser menjadi partner yang sejajar dengan pria, bahkan tidak sedikit yang mampu menjadi leader-nya. Seiring dengan perkembangan jaman, emansipasi tersebut menjadi sebuah tren, berbagai kajian dan studi tentang wanita dan gender menjadi perhatian besar. Dalam kondisi seperti ini wanita merasa lebih mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam segala hal.
Selain sifat naluriahnya yang pandai bersolek (feminin), wanita juga ingin menampakkan kecenderungannya untuk tampil tangkas dan cerdas. Berbagai bentuk asesoris yang mendukung agar selalu tampil prima dalam karir berusaha digapainya. Kenyataan seperti ini tidak bisa dihindari, hingga dampak yang terjadi adalah maraknya tren fesyen global dan gaya hidup baru yang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal.
Masih terngiang dalam ingatan, ketika boneka Barbie pertama kali masuk ke tanah ini pada dekade tahun delapan puluhan, beberapa pihak menyebut hal ini sebagai simbol awal terseretnya kita ke dalam arena masyarakat konsumerisme dunia. Sebuah boneka, yang tak lebih dari sekedar mainan anak-anak, sebuah kebutuhan kesekian (tersier), tiba-tiba menjadi rebutan dan bahan perbincangan yang ramai, tidak hanya bagi anak-anak namun juga orang dewasa. Hasrat membeli dan mengkonsumsi boneka Barbie kemudian dapat dibaca sebagai suatu gejala kebiasaan baru, membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Nilai-guna digantikan nilai-tanda. Lebih dari itu, boneka Barbie sebenarnya juga menggemakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat konsumerisme dan simulasi, yakni fenomena hiperrealitas; sebuah gejala dengan bertebarannya realitas-realitas buatan yang nampak lebih nyata dibanding realitas sebenarnya. Permainan tanda-tanda visual tersebut merupakan representasi sekaligus persepsi atas kecenderungan wanita kita yang mencoba menerima masuknya budaya fesyen barat dan mengamininya secara sepintas, sedangkan disatu sisi budaya fesyen lokal masih cukup kuat melingkunginya.
Kenyataan hadirnya fenomena hiperrealitas dalam segala ruang, mulai dari gosip, infotainment, sinetron hingga situs web telah menjadi gaya hidup dan tren yang sulit dihindari. Hanyalah kesadaran yang kuat untuk memilah dan memilih sesuai kebutuhan, menjadi saringan diri. Bagi wanita, tampil feminin memang sudah selayaknya, karena itu kodrati, tetapi jika feminin dicampurkan dengan ke-sexy-an yang fulgar maka secara langsung justru telah merendahkan dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia.
Dalam hal ini, marilah kita mencoba untuk memaknai kembali penampilan visual wanita kita ditengah kehidupan yang masih memiliki citra lokalitas, telah berbenturan dengan tatanan fashionable dan gaya hidup global. Bagaimana masyarakat wanita kita sekarang memandang apa-apa yang telah mereka tinggalkan ?. Terdapat suasana ironi yang ingin ditampakkan, sebagai sebuah pembacaan akan mulai munculnya kesadaran masyarakat kita berikut kejenuhan terhadap nilai-nilai kebaruan yang ada. Marilah kita maknai setiap jengkal perubahan yang terjadi !. Bersama publik, kita amati dan pahami proses dialogis antara dua sistem nilai kebudayaan, berikut efek yang terjadi sebagai bagian simulasi kebudayaan yang diberlakukan. Fenomena kegagapan yang menjangkiti setiap manusia, telah menciptakan ambiguitas pada tatanan sosial masyarakat.
Berkembangnya fenomena budaya massa yang telah melintasi batas kultural, bukan saja berpijak pada sudut pandang sifat konsumtif manusia, namun lebih dari itu permasalahan budaya massa tidak dapat dilepaskan dari permasalahan identitas. Ketika manusia dihadapkan, bahkan terlenakan pada beragamnya pilihan produk kebudayaan maka secara sadar maupun tidak, proses pencarian terhadap identitas yang membangun norma dan tatanan nilai kultural menjadi satu hal yang penting untuk dikaji.





Senin, 07 Juni 2010

KAKAWIN KAWIN: PEREMPUAN MEMERAH, MEMERAH PEREMPUAN



Konon pada awalnya, kehidupan bermula dari adanya perempuan. Tersebutlah dalam berbagai kitab suci langit, disabdakan bahwa perempuan diciptakan Tuhan dengan diberi kelebihan dan kekurangannya oleh Allah yang Maha Rahim. Mempersoalkan tentang kelebihan perempuan adalah dipinjaminya rahim kandungan, kepada perempuan pertama yang bernama Ibu Hawa, untuk nantinya rahim tersebut berguna memroses penciptaan manusia, yang dilahirkan dari rahim Hawa, kemudian beranak pinak yang kemudian jadilah milayaran manusia menyebar diberbagai belahan bumi dialam dunia ini. Dari penciptaan rahim Hawa inilah dunia menjadi ramai. Perempuan yang dipinjami rahim tersebut, selain diberi kelebihan rahim kandungan, juga memang dikodratkan memiliki sifat rasa kasih sayang, utamanya kepada anak-anaknya. Selanjutnya dalam perjalanan ruang dan waktu beratus-ratus abad, kata perempuan menjadi berubah maknanya. Mengapa demikian, karena beberapa kelemahan yang memang ditunggangi setanpun muncul. Ini khususnya terjadi di Indonesia, lebih khusus di Jawa. Kata perempuan yang entah berarti konotatif atau denotative, menjadi makna yang negative semata, apalagi katanya perempuan diciptakan dari “sempalan” tulang rusuk lakai-laki bernama Adam. Kata sempalan, yang berarti sesuatu yang diambil dan mudah patah, kemudian diimagekan, bahwa perempuan selalu bertingkah dengan selera rendah, artinya hanya haus dengan uang dan harta. Dibeberapa wilayah yang beragam, perempuan dianggap bisa bertingkah apa saja, dan sebagai siapa saja, mulai dari sebutan yang berkonotasi postitif atau sebaliknya. Perempuan selalu dihubungkan dengan kata indah, cantik, akrab, ramah, cekatan, berwibawa, berkuasa, kasih, sayang, cinta, kemanjaan, kangen, berwarna-warni, wangi, lembut, nikmat, dan seterusnya. Selain itu perempuan juga dapat dihubungkan dengan kata kejam, seram, penuh makian, rayuan gombal, tipuan, ghurur, iri, dengki, jahiliah, umpatan, pisuhan, pengkhianatan, kesombongan, kong kalikong, perseteruan, komplotan, perselingkuhan, pergundikan, per-riba-an, dan sebagainya.


Dibeberapa riwayat teks kitab suci ,juga disabdakan bahwa perempuan, memang sangat lihai memainkan dunia, mulai dari para Nabi dan Rasul sampai manusia biasa perempuan dengan gampang dan mudah memegang kendali dan membuat kendala hidup dan kehidupan dunia. Lihat Nabi Adam, ia jatuh dari Surga dan melayang didunia mayapada, karena sebab perempuan yang dibisiki iblis, Nabi Nuh gagal melaksanakan misi kerasulannya dan datanglah air bah, karena ulah perempuan yang tidak mau taat dengan Rabbnya, Nabi Ayyub dengan tugas-tugas kenabian dalam bidang kesehatan, ia ditinggalkan istrinya hampir juga gagal melaksanakan misi kenabiannya. Pada rentangan zaman yang panjang dewasa ini, perempuan dikalangan kelas menengah keatas, mengambil peran yang gila-gilaan terhadap laki-laki, munculnya politik pokrol bamboo, makelar korupsi, sogok-menyogok, jilat menjilat, maling kelas kakap dan gurameh, money politics, semua dapat dikatakan bahwa 99% urusan tersebut dikendalikan perempuan. Ingat, secara kelakar perempuan memang suka disogok, dijilat, selain itu karena perempuan memiliki nafsu besar, yang berjumlah sembilan puluh sembilanan. Sementara dikalangan rakyat jelata kelas bawah dewasa ini, perempuan juga dianggap sangat mengganggu pikiran masyarakat yang konon kabarnya laki-laki berperan sebagai pemimpin mereka, tetapi yang terjadi tidak demikian. Lihat di lorong-lorong gelap,di jembatan remang-remang, di pasar-pasar, di pantai-pantai, di tikungan-tikungan, di sudut-sudut kota yang kotor, hidup dan kehidupan mayarakat bawah hampir semua dikendalikan perempuan. Juga didalam dunia modern seperti sekarang ini apalagi, dibalik tampilnya para lelaki dalam politik kekuasaan, ekonomi kapitalisme global, budaya hedonis dunia, kesenian selebritis pasar wisata, teknologi informasi tranportasi hi-tech, agen keilmuan hamba pabrikan, peran perempuan tidaklah kecil. Dari belakang layar perempuan benar-benar mengendalikan “kegiatan dunia” hari ini. Laki-laki diperah perempuan, perempuan memang kodratnya senang diperah laki-laki. Wajah perempuan benar-benar memerah, laki-lakipun memerah dan merekah. Persoalan kakawin kawin dan perempuan, juga mengingatkan kita akan kata-kata bersyarat para filosuf dan agamawan dunia, seperti Kong Hu Cu, Stein Parve, Martin Luther,Henry VII, John Damascene, John Christosom, Gregory The Great, Antony, Benhard, Bonaventure, Jerome, Paus Jeroume, mereka serentak mengatakan bahwa, sebaiknya jauhilah perempuan, jauhkanlah perempuan, karena perempuan sumber segala kerusakan hidup.Keseragaman pendapat para filosuf dan rohaniwan, memberikan isyarat bahwa memang kemisterian perempuan dari zaman ke zaman, tak terbaca dengan baik dan sempurna. Perempuan perlu didekati atau dijauhi, disayang atau dibenci, dikritik atau dinasehati.Inilah persoalan perempuan memerah-merah kehidupan.


Kemudian apa dan siapakah sebenarnya jenis makhluk yang disebut perempuan ini? Jawabnya macam-macam, terkadang muncul jawaban yang rasional, tetapi jarang memunculkan jawaban misteri. Setiap laki-laki menjawab pertanyaan ini dengan jawaban bodoh dan tidak jujur. Jawabannya menurut kepentingan sesaat pada saat itu, misalnya mereka menjawab dengan mengatakan bahwa, perempuan itu empu, perempuan itu empuk, perempuan itu pendamping suami, perempuan itu kanca wingking, perempuan pelayan laki-laki, perempuan itu ibu bagi anak-anak, perempuan itu pemuas dahaga nafsu syahwat angkara murka, perempuan itu dewi ( berarti laki-laki merasa jadi dewa ? ), perempuan itu pencipta surga rumah tangga, perempuan itu sumber maksiyat, perempuan itu lemah, perempuan itu tidak becus memimpin, perempuan itu hamba uang dan harta, perempuan itu kaku karena tak mau dimadu, perempuan itu pelacur ( kalau laki-laki kok disebut belang hidung ), perempuan ratu, perempuan itu anu, dan sebagainya. Ini jawaban subyektif dan konotasi diatas yang mengatakan para laki-laki. Sementara kalau perempuan ditanya, justru ia tidak mau membuka mulut, malah membuka seluruh tubuhnya. Kemudian, pertanyaan berikutnya; inikah misteri perempuan? Pembacaan atas perempuan diatas, memang nyinyir dan tidak adil. Tanyakan saja pada para istri, selir, gundhik, simpanan, pacar, gendhak-an, langganan kita. Inilah misteri perempuan, terkadang minta disayang dan amat penyayang, ketika disayang tiba-tiba perempuan mengkhianatinya.


Namun demikian, jujur saja kaum Adam tidak bisa lepas dengan perempuan, semakin ia ingin melepasnya, maka wajah perempuan hadir menggodanya dan terus mengejar-mengejar disegala aspek pandangan kita. Pada ujungnya, perempuan tetap dielukan, dipuja, dikejar, diburu dan menjadi sumber inspirasi bagi laki-laki. Masa lalu kita pernah dikabari tentang perempuan yang digambarkan dalam kisah dunia pewayangan, perempuan bukan tergambarkan seprti diatas yang cenderung memojokkan, tetapi perempuan dijadikan jalan untuk meraih maqam spiritual bagi kesatria, untuk meraih kesempurnaan hidup,ketenangan dan kebahagiaan, maka ujian pertama adalah memahami perempuan secara benar dan sebenarnya. Kesempurnaan dalam memahami perempuan bagi kesatria, memang jalan ujiannya berkelak-kelok, berliku-liku. Kisah tersebut digambarkan kedalam bait-bait kakawin ( puisi ) yang berisi tentang pencarian makna, hakekat perempuan. Kesatria dalam mempertemukan keinginan yang menggebu, harus menjalani proses laku, agar kelak dapat bertemu ( kawin ) dengan perempuan yang diidamkan, dan itu harus ditempuh dengan pertempuran, perang saudara


Perempuan, kakawin dan kawin dari waktu kewaktu, dari zaman ke zaman, dari generasi tua ke generasi muda selalu menarik untuk dibincangkan, dipersoalkan. Ia bisa dipersoalkan dengan bentuk diskusi-diskusi, proyek-proyek, desain-desain penciptaan karya seni sastra, rupa, tari, teater, musik, atau hanya sekedar guyonan di gardu perempatan di jalan kampung di desa-desa. Medan perjalanan kreatif penulis, yang memang terkonsentrasikan di wilayah seni rupa, ikut mencoba meramaikan tiga kata diatas ( perempuan, kakawin, kawin ) dengan pembacaan perupaan dengan mengambil sudut pandang sesuai dengan perjalanan pribadi, serta pengalaman teknis yang menjadi tuntutan penulis sebagai perupa. Ini tugas yang mengasikkan dan menyenangkan penulis, karena disinilah setiap perupa dengan jujur akan memvisualisasikan tentang perempuan, kakawin dan kawin kedalam media rupa yang ditekuninya. Sekedar contoh karya penulis, yang berjudul Merahnya Perempuan ( Water Colour on Paper, 55 x 55cm x 10 buah karya ), tergambarkan pembacaan sisi kecil perempuan pada karya tersebut secara sengaja atau spontan ( karena kekuatan teknis aquarel cat air ) terlihat menekankan sisi-sisi mimiek wajah perempuan dengan ekspressi emosi yang beragam, seperti marah, takut, geram, tegang, mengharap, menanti, garang dan sebagainya, proses pemvisualisasian dengan teknis tersebut, sempat mengagetkan penulis, karena dapat ditemukan karakter perempuan yang mengejutkan. Pada karya lainnya, yang berjudul Mama Gravita ( acrylic on canvas, 70 x 70cm x 6 panil ) penulis bersama-sama dengan anak didiknya bersepakat membuat karya lukis sebanyak enam kanvas tersebut, dengan mencoba mengangkat tema cinta ( perempuan, kakawin, kawin ) versi anak didik, kemudian penulis berusaha melibatkan diri melukis bersama mereka, dengan penggunaan penanda bahasa mereka, berupa menuangkan kembali potongan-potongan puisi kakawin kawin-nya Rendra yang terkumpul dalam bukunya yang berjudul Empat Kumpulan Sajak kedalam media kanvas, hasilnya menurut pendapat penulis jadilah karya yang nge-pop, lalu lahirlah gaya penuangan tersebut mengingatkan penulis saat usia muda dengan membuat corat-coret naif seperti terlihat pada karya anak didik tersebut.


Kembali dalam mempersoalkan perempuan dengan segala kemisteriusannya, memang memerlukan pendekatan-pendekatan khusus, dialog batin, srawung yang jujur, kepekaan perasaan, kedekatan bukan karena kepentingan, pembacaan diri ditengah jutaan perempuan yang mendominasi kehidupan dengan cara amaliah ilmiah,akan menjadikan pemahaman yang pure, betapa perempuan adalah lagu batin kejujuran manusia, dan manusia itu disebut laki-laki. Semua berawal dari perempuan,tetapi semua berakhir tergantung pada laki-laki. Mau apa? 
FAJAR SUTARDI

Minggu, 30 Mei 2010

PINTU MATI DAN ORANG-ORANG YANG TERCINTA

Sejak Pintu Mati lahir dimuka bumi, banyak orang-orang tercinta yang simpati kepadanya, kehadiran orang-orang tercinta tersebut memacu, memicu keberadaannya, sehingga tumbuh, tumbuh dan tumbuh. Mereka adalah seperti ayahanda Djoko Pekik, kakanda Mamannoor, kang Tisna Sanjaya, kakanda Afrizal Malna, saudara sepuh kita Ardus M.Sawega, mas Agus Fathurrahman, mbah Pine Wiyatno, komunitas Shifaul Qulub Sumberlawang Sragen, saudara sepuh Bonyong Munni Ardhie, mas Antik, ayanhanda Murtidjono, mas Slamet Gundono, ayahanda GM Sudarta, ayahanda Suprapto Surya Darmo, saudara Gigih Wiyono, saudara kita Yant Mujianto, ayahanda Arfial Arsyad Hakim dan sebagainya. 
Sejak Pintu Mati lahir banyak orang yang bertanya, mengapa ia bernama Pintu Mati? banyak yang menyayangkan karena mirip konotasi kuburan, tanpa membawa Hoki, kelompok pemakan manusia, kelompok teater atau dikira kelompok kunthilanak yang menyeramkan. Seperti ayahanda Djoko Pekik saat membuka pameran dibeberapa tempat selalu ngendika kelompok Peti Mati. Nah, inilah hoki, sebab antara hidup dan mati, adalah sama saja, artinya hidup tanpa karya berarti menggali kuburan sendiri.

Info nyinyir  fajar sutardi

Kamis, 27 Mei 2010

PAMERAN VISUAL ART KAKAWIN KAWIN PINTU MATI SOLO

Komunitas perupa Pintu Mati Solo, menandai perjalanan 10 tahun usianya berencana mengadakan pameran visual art dengan tajuk: Kakawin Kawin. Kakawin Kawin mempersoalkan tentang keberadaan perempuan dan problematikanya dewasa ini dimata masyarakat global. Dahulu perempuan dianggap suci dan tidak boleh disemena-mekan,sekarang perempuan menjadi obyek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi  dan komoditas yang cukup menjanjikan. Pergeseran maknapun terjadi, kata perempuan asalnya dari kata dasar empu, dewasa ini dikonotasikan secara semaunya  menjadi empuk bukan empu. Bukan per-empu-an tetapi berubah menjadi per-empuk-an.  Sebelas orang perupa akan ikut meramaikan perhelatan tersebut, di Taman Budaya Surakarta, 19 - 25 Juni 2010. Mereka adalah Adam Wahida, Digdo Irianto, Fajar Sutardi,  Hanung Sapureget, MYE Ning Yuliastuti, Muhammad Yusuf, Nanang Yulianto, Romdhon, Sidik Ihwani, Susiawan Haryanto, Susanto,Tjahjo Prabowo.

UNDANG-UNDANG DASAR KOMUNITAS PERUPA PINTU MATI

Berkarya seni rupa dengan mencari, menggali dan mengembangkan ide dan pemvisualan dengan bebas dan merdeka. Berkarya seni rupa dengan  wawasan luas lintas pemikiran, lintas media, lintas kreasi dan lintas individu. Berkarya seni rupa dengan menjaga spirit originalitas individual, tetapi tetap mengedepankan  persoalan dengan penuh kebersamaan. Berkarya seni rupa dengan kesadaran gerak pribadi dan masyarakat yang melingkupinya, kesadaran akan tempat berpijak dan waktu yang berjalan. Berkarya seni rupa dengan mengedepankan problematika sosial dan budaya kedalam kecerdasan pribadi masing-masing perupa.

Rabu, 26 Mei 2010

PENGHUNI KOMUNITAS PINTU MATI 2000 - 2010

Komunitas PINTU MATI ( 2000 - 2010 ) dihuni oleh banyak perupa, hal ini wajar karena komunitas ini bersifat terbuka ( bisa datang dan bisa pergi, jadi tamu sementara atau menjadi anggota: itu tidak terlalu penting ), yang terpenting memiliki misi, visi, semangat, spirit dan kepentingan yang sama, yaitu memajukan seni rupa di Solo dan dimana saja. Inilah nama-nama penghuni PINTU MATI dari waktu ke-waktu, yang sempat saya ingat : Bambang Supriyono Ogah, Hartono, Suratman, Andriyanto, Qomarudin, Sidik Ihwani, Nanang Yulianto, Fajar Sutardi, Digdo Irianto, Susiawan Harianto, Ali Baki Aman, Insanu, MYE Ning Yuliastuti, Tjahjo Prabowo, Hanung Sapureget, Tri Wahyudi, Otong, Ridho Byar, Aka Kudus, Adam Wahida, Romdhon, Bonyong Munni Ardhie, Muhammad Yusuf, Susanto, Farhan Siki dll.

10 TAHUN KOMUNITAS PERUPA PINTU MATI SOLO

Perjalanan kreatif  berkesenian ( seni rupa ) pada rentangan sepuluh tahun, bila dipandang dari sisi perjalanan waktu cukuplah panjang-betapa tidak- perjalanan ini  berawal dari rembugan kecil-kecilan beberapa mahasiswa seni rupa yang kebetulan FKIP UNS yang berkeinginan pameran lukisan secara kelompok yang rencananya akan digelar di Taman Budaya Surakarta. Rupanya, mereka bingung ketika sebuah kelompok yang akan berpameran belum punya nama kelompok. Seseorang, pada suatu hari datang kerumah saya untuk dialog soal nama kelompok. Mereka sudah menemukan nama yaitu PINTU, nama itu menarik sekali karena di Yogyakarta kalau tidak salah ingat ada kelompok perupa yang bernama JENDELA, yang waktu itu mereka sempat pameran di Solo. Kemudian saya menambahkan kata MATI, yang kalau digabung menjadi PINTU MATI, Ide penamaan PINTU MATI tersebut, muncul saat saya mendengar Iwan Fals mendendangkan lagu Orang-orang kalahnya SWAMI. Spontan, ide itu diterima oleh teman-teman dan mantaplah kelompok tersebut bernama PINTU MATI. Saya meyakinkan kepada mereka, bahwa para perupa ( khususnya mahasiswa seni rupa FKIP UNS ) haruslah berani mengadakan perlawanan kreatif, terhadap pedasnya krirtikan, bahwa seni rupa FKIP itu mandul, mati, tidak kreatif dan sebagainya. Pelukis Widayat, juga sempat bertanya : Wo, FKIP UNS ana seni rupane to?. Kami semua terperangah, kalau begitu ada apa ini? Ternyata, memang belum dikenal luas, seperti sekarang ini. Nama PINTU MATI menjadi spirit untuk mendobrak kemacetan, kemampatan bahkan kematian kreativitas  dilingkungan seninrupa UNS. Kemudian, nama itu juga menjadi spirit agar para perupa yang masuk dikomunitas ini, selalu membikin pintu-pintu kreatif, agar ruh seni rupa dalam jiwa anggota tidak mengalami mati.Nah, perkara orang bilang nama PINTU MATI tidak hockey, seram, berbau teater, menutup hidup dan hanya mikir mati, itu tak menjadi soal.Yang jelas, secara maknawi PINTU MATI mengandung spirit, agar ruh tidak mati, dan selalu membuat pintu-pintu kreatif. Walau untuk kesana perlu mati-matian, ini terbukti sepuluh tahun, alhamdulillah masih eksis.( fajar sutardi )