Kamis, 03 Maret 2011

fadjar sutardi visual space: sarasehan proyek seni visual doea moeka pintu ma...

fadjar sutardi visual space: sarasehan proyek seni visual doea moeka pintu ma...: "sarasehan proyek seni visual doea moeka pintu mati digelar di ngoresan, solo pintumati news, solo ( 2 maret 2011 )- Proyek seni visual..."

Kamis, 23 September 2010

TULISAN PAK BONYONG UNTUK KATALOG PAK BENG


PSICO DISTANC
PSYCHOLOGICALLY
DISTANCE
Bonyong Munny Ardhie

Sudah sejak lama saya mengenal “BENG”
Sejak masa-masa SMAnya dia di Surabaya.
Berawal dari biasa-biasa saja dia dalam menggauli kesenian, Dari awal mula mata pelajaran menggambar sampai pada istilah “melukis” yang cenderung pengertiannya memasalahkan relung-relung yang paling dasar penciptaanya dilaluinya dalam kampus seni rupa. Periode SSRI sampai ASRI, Beng penunjukkan sikap biasa-biasa saja pada kesenian. Tapi waktu dia menanagani kerja sebagai Bos gambar Bioskop (poster film) mulai ada keanehan. Sentuhan kesenian memang ada sedikit-sedikit misi gambar fotografis / komposisi-komposisi serta nilai-niai komersial/ pasar banyak menyentuhnya.
Dari situ dia merubah postur tubuh / artibut /variasi wajah menjadi gondrong alam / kumis: jenggot (brewok) sampai pada botak/ putih (uban) dari carut matur wajah yang kata teman-teman Surabaya: “LARAAHAN YANG MUMPLEK NOK RAINE” (sampah yang tumpah di mukanya).

Menurut saya, ini gesekan spontan dengan alam nuaraninya. Gejala awal dari PSYCHOLOGICALLY secara umum sebuah kecenderuangan extrenitas. Gejala ini diperkuat dengan ia tidak keluar rumah (studionya) kurang lebih 3 tahun (1980an) walau ia menjalankan bisnis poster bioskop.
Setelah gulung tikar bisnis ini (perubahan dari film besar ke twinity one; poster yang memakai print digitala yang lebih murah, lebih komunikatif), disinilah ia mulai coret-coret berkarya pada media kertas.

Pelan-pelan ia tumpuk karyanya. Tanpa intervensi orang lain / kritik-kritik bahkan tepuk tangan, geleng kepala dari teman-temannya. Ia bekerja sendiri, hanya dengan teman-teman dekatnya yang ia percaya, ia mau memperlihatkannya. Endapan-endapan akademis  yang menyelimuti dasar estetiknya ia bekerja sendiri dalam kesunyian, mandiri.
Inilah yang saya tangkap dari istilah psycologiclly estetik pada jiwa keinginan berontak; bicara ego individual serta extrimitas pribadi, yang tak terkontrol oleh alam ke”umum”an menjadi murni. Psicologi ayang sangat individualis terlahir begitu saja. Ini yang sebetulnya menarik dalam dunia kesenian.
Beng seakan-akan sudah lengket dengan goresan-gorean naïf. Karya-karyanya ini berawal dari tak terpisahannya rasa aestetik dab gemuruh nuraninya. Menjadikan mengental dalam tumpukan kertas apa saja yang ada padanya.
Periode ini memang sangat menarik untuk disimak. Bila ia bicara selalu diukur oleh dirinya sendiri. Walau ia melahap buku-buku apa saja dari pengetahuan aetetik; filsafat; bahkan agama atau alam pun alam-alam mistik; ia selalu tokohkan dirinya.
P.D (Percaya Diri)nya meledak-ledak melebihi takaran-takaran umum. Kegilaan pandangan yang selalu mewarnai tingkah laku dan sepak terjangnya.

Tapi begitu tiba-tiba ia ingin pameran tunggal, ingin memperlihatkan pada orang lain, ingin diukur individualnya. Maka ia sudah berpikiran lain. Seakan-akan ia ingin mengetahui “kontempoter”  orang lain, ingin tepuk tangan, gelengan kepala , decak keheranan orang lain diluar dirinya. Dari yang memuji sampai memaki ia ingin dengarkan komentarnya. Ia mulai membuka diri, mulai berdiskusi tentang karya-karyanya dan dirinya.

Tidak seperti dulu, sejak awal karyanya yang naïf sangat individual sampai saya katakan “PURBA” ini sangat menarik untuk diteliti. Melekatnya kegelisahan psycis yang tak ada jarak. Jarak antara konsep artistik dan ekspresi, menyatu menjadikan karya-karya Beng menarik (tahun2000). Beng lahir dengan keutuhan karyanya.

Setelah itu terjadi perubahan-perubahan yang agak signifikan, yaitu sejak berfikirnya bagaimana penyajiannya, bagaimana supaya karya-karyanya tersebut menarik, terbaca oleh orang lain, dimengerti, bahkan ditepuktangani, dipuji, menjadikan strategi baru yang mulai mewarnai karya-karya Beng.

Karya-karyanya tertata rapi di ruang pameran dari lantai sampai ke langit-langit ruang. Walau tak ekstrim sesuai dengan pribadinya. Ditumpuk diletakkan pada fustek walaupun karyanya bukan patung, ditaruh berserakan laksana sampah. Inilah pikiran yang contemporer, yang kekinian, yang berhubungan dengan masyarakat yang dipertimbangkan dengan pasar, bahkan yang diraup sampai mendunia.

Karya-karya Beng pelan-pelan sudah mulai berjarak dengan konsep-konsep awalnya. Konsep-konsep individualnya (psycodistanc) yang mewarnai karya Beng ini saya anggap karya “kontemporer”, sudah bukan lagi “individualist”, bahkan sudah bukan Purba lagi.’

Tapi bagaimanapun karya-karya Beng selalu menarik bagi saya.
Ketelanjangan itu sekarang sudah berstrategi.



Selamat Menikmati,
Studio Joso, 2010


Bonyong Munny Ardhie


Salam buat
Teman-teman komunitas
Sanggat Tanah Liat
Ugo dan keluarganya

Jumat, 16 Juli 2010

CATATAN KUSS INDARTO : WAHYUDI : MENGINGKARI "KUBURAN" SOL;O


Catatan Kuss Indarto  :
Wahyudi: Mengingkari “Kuburan” Solo

 Kemarin jam 8:31
(sekadar catatan personal untuk Tri Wahyudi yang berpameran tunggal, 17-27 Juli 2010)

[bagian satu]

NAMA dan karya Tri Wahyudi pertama kali saya kenali pada perhelatan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2007. Namanya menjadi salah satu dari sekitar 35 nama seniman yang lolos seleksi pameran tahunan tersebut. Waktu itu, saya sebagai kurator dan perupa Arie Diyanto sebagai co-curator menerima sekitar 600 lebih proposal dari para seniman muda yang berkehendak terlibat dalam pameran. Ada beberapa aturan main yang ingin saya (sebagai Ketua Divisi Seni Rupa) terapkan dalam pameran FKY tahun itu. Antara lain, perhelatan hanya terbuka bagi para seniman di bawah usia 35 tahun, dan tidak menutup kemungkinan bagi para seniman Yogyakarta dan dari luar Yogyakarta untuk berpartisipasi

Poin terakhir itu tampaknya begitu menyedot perhatian bagi Wahyudi hingga dia begitu antusias mengikutkan salah satu karyanya dalam pameran yang kala itu bertajuk kuratorial “Shout Out! Berteriaklah!” Dan menarik pula untuk diingat karena dari 35 nama seniman peserta/karya itu, hanya ada 3 karya lukisan, yakni karya Robi Fathoni, Aji Yudalaga, dan Tri Wahyudi. Saya katakan menarik karena sebagai kurator, saya mencoba bersikukuh untuk mencari sebanyak mungkin “kebaruan dan penyegaran” dalam artefak ekspresi karya para seniman muda. Dan salah satu bentuk “kebaruan dan penyegaran” itu dengan “mengutamakan” karakter karya beserta pilihan-pilihan medium juga tema yang beragam dan sebisa mungkin lepas dari gejala arus besar. Tak mudah memang. Kala itu sebagian besar seniman menggunakan medium yang relatif “baru” (meski jelas tak baru-baru amat) seperti video art, object arts, sneakers art, dan tidak sedikit seni instalasi. Bahkan ada yang mengusung “sawah mini” dalam gedung. Ada karya Indieguerillas, Uji Hahan Handoko, Iwan Effendi, Comic Bomber, Trio Samsul Arifin, David Armi Putra dan Bayu Yuliansyah yang tengah berkolaborasi, Ngurah Udiantara “Tantin”, Dona Prawita, dan masih banyak lagi.

Dan di antara kerumunan karya-karya seperti itulah ada tiga lukisan, salah satunya karya Tri Wahyudi. Lukisan itu semi-komikal. Belum cukup istimewa secara visual, namun seperti menyimpan hal yang cukup berbeda ketimbang kebanyakan karya lain yang serupa. Warna-warnanya pun cukup bersahaja: merah hati dan hijau tua yang sepertinya “diambil begitu saja” dari tube tanpa banyak dibaurkan dengan warna lain. Subyek utamanya figur-figur yang seolah beterbangan dalam satu ruang dengan pemiuhan (deformasi) fisik yang mulai fasih: seenaknya, menyelaraskan dengan alur imajinasi dalam benak. Belum ada “manis-manisnya”, dan justru di situlah sepertinya kebebasan visual itu bergerak dalam karya Wahyudi. Itulah kekuatan karyanya.

Berikutnya, setahun kemudian, karya Tri Wahyudi saya kenali kembali setelah lolos 50 Besar Mon Décor Painting Festival 2008. Sebenarnya malah lolos dalam 25 Besar yang relatif lebih ketat karena 25 karya yang lain merupakan karya dari seniman undangan yang berpartisipasi tanpa seleksi. Sementara karya Wahyudi harus bertarung dengan sekitar 700 karya lain yang datang dari banyak kota di Indonesia. Kebetulan saya salah satu dari tim juri di samping kurator Jim Supangkat, Dr. M. Agus Burhan dan seniman senior, Ivan Sagita. Artinya, pengakuan awal atas masuknya karya Wahyudi dalam perhelatan itu telah ditunjang oleh legitimasi kuat dari tim juri. Meski tak bisa dibilang dengan kemutlakan, namun keberadaan karya Wahyudi dalam event itu dimungkinkan memberi implikasi yang baik bagi perjalanan kreatifnya yang bergerak dari Solo, kota “pinggiran” dalam seni rupa di Indonesia. Wahyudi pasti sadar dengan posisi tersebut.

[bagian dua]

WALAUPUN berjarak hanya sekitar 64 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan kereta api Pramex, namun perkembangan seni rupa di kota Solo (= Surakarta) kurang seprogresif tetangganya, Yogyakarta. Bahkan kalah riuh dibanding kota Semarang. Sama-sama memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan tinggi, sama-sama dianggap menjadi sumbu dan simbol kebudayaan Jawa, namun pada perkembangannya Yogyakarta-Surakarta masing-masing memiliki kelebihan yang berbeda. Mereka menemukan pilihan masing-masing yang tak seutuhnya sama dan setara. Tri Wahyudi, anak muda kelahiran Surakarta, 11 November 1986 ini pun mengakui. Dalam jagad seni tari, Kota Bengawan ini jelas dianggap telah melahirkan sekian banyak empu. Sementara di ranah seni rupa, Solo tertinggal sangat jauh ketimbang Yogyakarta yang melaju pesat.

Kalau kemudian ditelusuri, memang, ada problem titik berangkat historis yang timpang jauh satu sama lain. Yogyakarta memiliki ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang lahir kurang dari lima (5) tahun setelah usia republik ini setelah terbit surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949, dan diresmikan 15 Januari 1950. Sementara Solo baru memiliki kampus seni, yakni Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), setelah terbit Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 068/1964 tertanggal 15 Juli 1964. Dan Jurusan yang berkait dengan seni rupa baru dibuka bertahun-tahun kemudian.

Berdirinya sebuah kampus seni sudah barang pasti pantas dicatat karena kemudian banyak sekali pergeseran, perubahan dan geliat dinamika seni juga tak sedikit ditentukan dari sana. Mungkin bukan sepenuhnya karena tata aturan, sistem birokrasi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan belum tentu semuanya mampu menjadi roda perubahan itu. Melainkan lebih karena kampus berangsur-angsur menjadi ruang sentrum bagi berkumpulnya banyak gagasan dan meluapnya pengharapan yang kemudian lahir dari banyak orang muda (atau yang tetap merawat kemudaan) untuk berpikir terus melestarikan kemajuan. (Kampus, pasti, hanya satu gelintir soal dilaur hal lain yang juga sangat berpengaruh seperti suprastruktur dan infrastruktur pendinamisasi seni rupa).

Dalam segala kelebihan dan kekurangannya, Wahyudi mengaku merasa beruntung bisa masuk di Program Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2004. Sebelumnya, selama kurang lebih setahun aktif di Sanggar Kalpika, Yogyakarta. Dia merasa, inilah saatnya berbuat yang lebih baik untuk mengembangkan diri dan kariernya. Dalam kampus dia banyak bertemu dengan para dosen, terutama yang senior, yang kelak dirasakannya telah banyak memberi pembekalan penting bagi perjalanan kreatifnya. Dengan I Gusti Ngurah Nurata, Wahyudi banyak member tumpuan proses pembelajarannnya pada masalah-masalah teknis melukis. Dan bersama Bonyong Munni Ardhie, dia merasa menemukan titik hubung proses pewacanaan dalam dunia seni rupa yang ditemuinya antara praktek di lapangan dan dari dalam diktat-diktat kuliah. Kedua dosen ini—yang kebetulan sama-sama alumni ASRI Yogyakarta—memang seperti menjadi “legenda” bagi para mahasiswa seni rupa di ISI Surakarta. Para dosen lain, termasuk yang muda, tentu saja juga memberi peran yang cukup besar pula bagi proses pembentukan pola berpikirnya. Ada sosok seperti Sofwan “Kipli” Zarkasi yang disebutnya cukup memberi pandangan yang berbeda dalam menatap kerja kreatif sebagai seniman.

Di luar itu, seperti halnya kebanyakan mahasiswa lain, Wahyudi mencoba aktif di banyak aktivitas. Pada kurun awal dia melihat setidaknya dua komunitas seni rupa yang paling aktif dan cukup berpengaruh di kota Solo, yakni Kelompok Bim Salabim (ISI Surakarta) yang dikomandoi oleh teman seangkatannya, Pithut Saputra, dan Kelompok Banting Stir (Seni Rupa UNS, Universitas Negeri Solo). Wahyudi sesekali mengikuti aktivitas yang dibuat 2 kelompok tersebut meski tidak sangat intens. Mereka banyak bergerak untuk membuat aktivitas seni di “jalanan” seperti membuat mural di sebuah kawasan, pameran seni dengan material pameran yang tidak konvensional, dan semacamnya.

Karena bukan pendiri dan tak menjadi “anggota tetap” dalam komunitas itu, maka Wahyudi pun dengan bebas bisa bergerak seperti yang dimauinya untuk masuk dan keluar mengikuti minat dan intuisinya. Merasa telah cukup “menyimak” komunitas itu, dia bersama 25 kawan seangkatan dan sejurusannya membuat kelompok Ranting Seruni. Sayang kelompok ini tak cukup kuat kuat disokong oleh pemikiran-pemikiran kreatif yang mendasarinya sehingga kegiatan dan pencapaiannya pun tidak banyak bergaung dalam ruang-ruang pendengaran masyarakat seni yang lebih luas. Juga, sayangnya, tak cukup awet bertahan. Maka, tak lama kemudian hanya tinggallah nama Ranting Seruni itu. Kelompok yang kemudian sempat “dihinggapi” Wahyudi adalah Kelompok Pintu Mati yang diprakarsai oleh Ning Yuliastuti, salah satu dosen yang kebetulan istri dosen dan perupa Bonyong Munnie Ardhi.

[bagian tiga]

PADA tahun-tahun terakhir di masa studi di ISI Surakarta Wahyudi seperti telah menemukan banyak kemungkinan jalan yang bisa dilewati untuk membangun karir dan reputasinya sebagai seniman. Kesadaran bahwa tak akan mungkin banyak berkembang andai hanya mengandalkan jaringan di dalam kota Solo menebalkan spiritnya untuk merangsek mencari celah jejaring kerja kreatif dan sosial yang lebih luas. Mungkin ini bisa dianggap terlalu berlebihan karena sebenarnya Wahyudi tak memiliki komunitas atau kelompok seni yang kuat yang ada di belakang punggungnya. Dia murni bergerak sendiri secara personal sebagai seniman yang memang ingin banyak menimba sistem pengetahuan yang lebih baru dan segar bagi pengayaan kreatifnya sebagai kreator dan sebagai mahasiswa yang ingin berkembang jauh.

Karena tanpa beban menyangga sebuah komunitas inilah maka memuat dua kemungkinan yang bisa datang secara beriringan dan saling berseberangan. Pertama, tak ada target yang cukup jelas untuk membangun jejaring kerja lebih tegas dan berimplikasi pada komunitas yang dibawanya. Dengan demikian, yang terjadi adalah anjangsana personal dengan target personal pula. Pola seperti ini tak jarang menyulitkan bagi partner jejaring yang lain untuk membuat sebuat art project yang lebih serius dan dalam skala yang lebih besar. Kedua, persentuhan dengan jaringan seni dari kota lain seperti diposisikan sebagai “kotak charger baterray” yang diharapkan bisa meng-charge kemampaunnya sebagai seniman, namun bukan sebagai bagian penting dari system jaringan kerja yang tentu membutuhkan energy besar yang dimungkinkan akan menyedot energi kreatif Wahyudi yang lain untuk bekerja sebagai seniman (= pelukis). Pola ini yang tampaknya masih dianut oleh Wahyudi.

Maka, enjoy-lah dia sesekali ke Yogyakarta untuk mengunjungi dan mengobrol dengan beberapa seniman muda yang seumuran atau komunitas seni yang diakrabinya untuk menimba informasi yang lebih baru. Juga ke komunitas seni dan seniman-seniman tertentu di Semarang. Dari sanalah kemudian muncul ide-ide untuk berpameran bersama di ruang-ruang alternatif yang masih membebaskan proses dan target pameran itu dari perangkap pasar, misalnya. Ini sangat penting bagi pertumbuhan seniman muda semacam Wahyudi yang butuh “ruang antara” untuk bergerak di antara dunia yang pragmatis dan dunia yang penuh idealisme dalam seni.

Pameran tunggalnya kali ini kiranya merupakan buah dari ketekunan seorang Wahyudi yang menggali keteguhan dan keyakinannya terhadap pilihan profesi dan hidupnya untuk menekuni dunia seni rupa. Sebelumnya, dalam studi formal di ISI Surakarta, dia juga tekun menempuh jalur-jalur yang semestinya dijalani hingga sempat menerima beasiswa atau PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) mulai semester ke-3 sampai beberapa semester berikutnya. Ini pencapaian tersendiri bagi anak pasangan Daryo-Sulastri ini. Apalagi setelah menginjak semester ke-5 Wahyudi betul-betul telah mandiri dari beban ketergantungan subsidi finansial keluarganya. Karya-karyanya telah “berbuah”, diapresiasi dan direspons dengan baik oleh publik. Dari sinilah publik akan bisa menyimak lebih seksama: Apakah kota Solo memang “selamanya” tidak mampu melahirkan perupa yang matang, ataukah Wahyudi tengah datang dengan membawa kekecualian? Jalan masih sangat panjang. Dan Wahyudi—dan sekian banyak perupa (muda) lainnya—pantas untuk mengingkari anggapan bahwa Solo sebagai “kuburan bagi perupa” dengan membopong secuil harapan. Semoga!***

Selasa, 29 Juni 2010

Love

MYE. Ning Yuliastuti
"Love"
200 x 180 cm
Mixed Media on Canvas
2010

Senin, 28 Juni 2010

What a Girl Desire…

Telor Pedes
60 x 40 cm
Acrylic on Canvas
2010


Perempuan dengan segala keistimewaannya telah sejak awal menjadi gender pendamping yang dalam setiap masa melakoni porsinya. Benarkah itu? Ah, para pemuja perempuan, pemerhati perempuan, bahkan para anti perempuan yang notebene dilahirkan dari rahim perempuan, dan tentu saja perempuan itu sendiri tak akan ada habisnya mewacanakan tentang keistimewaan perempuan. Wah, perempuan terus…, Setidaknya terdapat istilah yang dapat mejembatani dan menjadi salah satu fase dalam berhubungan antara perempuan dan lelaki yaitu kawin.
Selama ini kita mengenal istilah kawin sebagai proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat untuk mewariskan ciri-ciri suatu agar tetap lestari setidaknya secara harfiah maupun nilai-nilai sosial di lingkungannya, tak perlu berpanjang lebar juga karena dalam fase tertentu segala sesuatunya teralami sebagaimana manusia terciptakan dilengkapi dengan jiwa dan hasratnya dan lingkungan memberi koridor beserta segala aturan, sangsi, gossip, kasak-kusik, sindiran, cibiran yang pada tahap-tahap tertentu sama sekali tidak berguna. Atau akankah kita mau memaknai kawin yang juga digunakan sebagai istilah hubungan seksual antara dua ekor hewan dengan segala laku dan gayanya, ha2, kalianlah yang paling tahu selera dan interpretasi masing-masing, sementara istilah kakawin kali ini oleh komunitas Pintu Mati digunakan sebagai rangkaian kontekstual melalui bahasa visual masing-masing dalam menterjemahkan kata kawin dan lawan gendernya. Setidaknya seperti itu yang yang tertangkap dari beberapa kali pertemuan dengan bapak-bapak penunggu Pintu Mati yang sedang puber kedua katanya, ha2. Selamat atas kenormalannya.


Mbah Kawi dan istri …
Pada suatu sore, tersebutlah seorang kakek bernama mbah Kawi sedang duduk di kursi licak dari bambu di depan rumahnya. Ia baru saja melepas anak cucunya yang selesai menjenguk. Sekali-kali ia menengok ke jendela terbuka sehingga dapat dilihatinya istri yang terbaring karena sudah tiga bulan sakit karena usia tuanya. Meski sakit ia masih membuatkan segelas teh dan mengantarkan ke depan. Mbah Kawi yang tau istrinya tertatih-tatih menghantarkan teh sama sekali tidak melarang istrinya tersebut meski hatinya ingin sekali, dan seperti biasa ia nikmati teh itu hingga dingin berampas. Setelah malam menjelang si kakek merapikan selimut istrinya yang telah tertidur duluan untuk kemudian ia berbaring di sampingnya…
Saat sinar pagi nenembus atap genteng, membangunkan si nenek untuk segera ke dapur, tetapi ia teringat kalau kayu bakarnya telah habis dan beranjak membangunkan mbah Kawi agar pergi mencari kayu bakar. Ia menarik selimut si kakek tapi tidak mau bergerak… saat di sentuh tubuhnya ternyata dingin… saat diguncang tubuhnya ternyata sudah kaku…
Konon menurut tetangga belum ada tujuh hari kematian mbah Kawi, sang nenek juga juga menyusul…

Susanto

WONDER WARNMAN ketika wanita dalam buaian budaya pop




oleh. Susiawan haryanto*

WONDER”WARM”MAN
RABER, AKRILIK, SPRAY PAINT ON CANVAS
230 X 320 CM
2010


Dalam era industri dan jejalan moderenitas kekinian wanita menjelma menjadi sebuah produk dalam etalase-etalase kapitalis,ia (baca:wanita) dikemas dengan stigma bahwa wanita sebagai rangsangan, daya tarik, hingga menjadi pemuas konsumen sebuah produk. Dunia periklanan apapun produknya hampir nyaris semua produknya menggunakan kemolekan, keseksian dan sensualitas wanita sebagai ujung tombak penarik (perangsang) sebuah hasil produksi. Ketika sensualitas wanita sudah menjadi bagian dan tujuan dari ruang benak konsumen, maka secara sadar maupun tidak hal tersebut menempatkan/memposisikan wanita layaknya sapi perahan untuk pemuas hasrat pasar (baca:kapitalis)
Budaya (popular) tersebut lahir dari rahim modernisme dan dibesarkan oleh industri sebagai instrumen utama kapitalisme sehingga ia (perempuan) punya andil besar membentuk dan memproduksi dinamika kehidupan masyarakat dalam mendefiniskan dan memproyeksikan dirinya. Posisi wanita (sensualitas) begitu sangat mempesona dan merangsang keinginan kita (baca:sebagian besar dari kita) karena dalam benak sebagian dari kita memahami wanita hanya sebatas sexsualitas bukan pada sisi yang lebih dalam dari diri wanita. Pola pikir tersebut begitu sangat membabi buta dan liar bermain dalam benak konsumen (kita) hingga pada tataran meng-konsumsi produk industri malah keluar dari esensi produk itu sendiri.

Wonderwomen: Selalu Berdendang Ria Dalam Etalase Mesin Industri
Perubahan akan tututan moderisme menyebabkan sebagian dari kita menjadi manusia yang begitu takluk dan patuh pada hukum mesin-mesin kapitalis. kita menjelma menjadi koloni robot-robot organik dalam gelombang besar dan siklus pasar industri (baca:kapitalis) dengan segala buaian, impian atau bahkan resiko. Kemunculan wanita sebagai panglima besar sirkus pasar kapitalis merupakan sebagaian kecil “produk” gerakan feminisme. Dalam pandangan idelistik menyatakan bahwa feminisme digerakan oleh suprastruktur yaitu kesadaran tentang adanya ketimpangan, ketidakadilan gender. Tetapi justru dalam pandangan materialisme budaya mengatakan bahwa gerakan feminisme tersebut lahir dari infrastruktur ,yaitu oleh produksi dan reproduksi secara masif. Dalam hal ini (menurut: materialis budaya) perkembangan gerakan feminisme begitu sangat didukung adanya media dan teknologi informasi sehingga gagsan akan feminisme nyaris tidak ada sekat budaya, terotorial dan waktu.
Perempuan dalam dunia industri selalu menempatkan perempuan sebagai objek (perangsang nilai jual), ia (perempuan) dikemas dan dipertontonkan dengan yang ditonjolkan. Demikian pula fiksi romantis yang mereproduki budaya patriarki, perempuan disuapi dengan cinta sejati. Opera sabun yang membahayakan kesadaran politik perempuan. Praktik fashion dan kecantikan yang telah mendikte perempuan untuk diarahkan. Pada kutub yang lain, budaya anak muda serta musik pop, terus menerus memproduksi ilusi-ilusi tentang kebahagiaan, kesedihan, dan aneka macam bentuk budaya yang menghilangkan identitas budaya dan kreatifitas. Kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi salah satu ciri khasnya

Dikontruksi Feminisme : Wacana Pembalikan Peran
Melihat persoalan akan pergerakan pemahaman dan aktualisasi dari feminisme akhirnya persoalan dari feminisme bukan sekedar berhenti pada tataran kesetaraan gender. Kesetaraan gender haruslah disikapi dengan kearifan dan tidak serta merta meluluhlantahkan kodrat “dua kelamin”. Dalam konteks social-budaya kekinian yang terjadi bukan siapa mengkorbankan siapa dan siapa korban siapa karena pada banyak kasus yang terjadi adalah kepentingan pria selalu dibawah kendali seorang perempuan. Istilah parodi tentang “Istiqomah” ikatan swami takut istri kalo dirumah begitu banyak kita temui untuk mengistilahkan betapa kendali istri begitu kuat dan penggaruhnya terhadap benturan kepentigan swami. Kekonyolan dalam suatu hubungan tersebut malah menjadi produk (dipertontonkan) pada khalayak umum (penikmat media) bahwa kendali perempuan (istri) begitu sangat nyata dalam sebagian besar masyarakat?.
Gerakan feminisme yang awalnya memperjuangkan ‘kesetaraan “ sekarang cenderung mengarah pada isu “perbedaan” dengan tujuan-tujuan perubahan baru yang berkesinambungan dengan “teori-teori” baru pergerakan sosial. Dalam tataran idealistik sebenarnya setiap diri kita (laki-laki, perempuan) mempunyai peran menurut kodrat dan porsi diri, tinggal bagaiman kita mensikapi setiap ruang perbedaan yang ada. Semoga perbedaan kelamin diantara kita bukan selalu menjadi perdebatan untuk disetarakan dan semoga perbedaan itu menjadi kenikmatan setiap diri dari kita dalam menjalani perbedaan itu.








Tahukah anda apa paling murah sekaligus paling mahal di dunia ini?



Jawabannya tak lain adalah “JANJI”, kita sering mendengar dan melihat para pemimpin kita yang sering mengobral janji-janji manisnya untuk memikat hati masyarakat agar memilihnya pada masa-masa pemilu. Disini seakan –akan janji seperti orang yang masuk kampung menadah barang bekas sambil teriak lewat mic, atau bakul jamu keliling yang menggunakan mic 33.000 watt untuk menarik para penonton sambil mengeluarkan jurus2 sulap kelas kampungnya. Lebih tepatnya “janji” itu seperti tumpukan pakaian bekas yang diobral yang sering  kita temui di trotoar  jalan pasar legi.
Janji memang ringan sekali diucapkan bahkan kita sering melakukannya, seperti ketika berjanji kepada pasangan kita…”iya sayang apapun yang kauinginkan pasti aku kabulkan”,…. tapi ketika pasangan kita minta mobil sedang kita tak punya uang apa yang harus kita lakukan? haruskah kita mati-matian bekerja demi menepati janji kita, bahkan sampai harus merampok atau mencuri?!!
Barangkali suatu hal yang wajar apabila kita harus berusaha mati-matian demi orang yang kita cintai. Bahkan kita rela untuk melepaskan kebahagian dunia demi seseorang itu. Alangkah beruntungnya apabila ada wanita yang mendapatkan seorang lelaki yang memiliki sikap gentlemen seperti itu, ataupun sebaliknya alangkah indahnya hidup ini apabila ada seseorang wanita yang dengan tulus ikhlas memberikan kelonggaran bagi pasangannya untuk terus berkiprah dibidang yang disukainya. Kita harus ingat pepatah kuno dibalik kesuksesan pria dibelakangnya pasti ada wanita yang penuh cinta, kesabaran yang mendampingi.
Wanita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan kesempurnaan tubuh. Sebuah anugerah berupa kemolekan dan keindahan fisik serta luasnya cinta, hal itu membawa pasangan jenisnya untuk selalu berempati dan berusaha melindungi dari bahaya. Tapi dibalik itu wanita adalah makhluk yang sangat lemah mentalnya sehingga sering jadi sasaran empuk janji-janji  “palsu murahan”  para lelaki. Sungguh ironis sekali, kehidupan mereka seperti sebuah barang yang ketika sudah usang maka dibuang oleh pemiliknya. Tapi memang kodrat seorang wanita adalah gampang dibujuk dan dirayu[digombali]. Bayangkan saja hanya dengan melihat iklan ada “BIG SALE” ditivi atau dimajalah saja para women itu segera bergegas merayu sang suaminya untuk dibelikan barang yang dia inginkan. Sehingga wajarlah apabila pasar lebih memilih para kaum hawa sebagai target operasinya. Sehingga banyak sekali para wanta dan ibu-ibu yang lebih sibuk ber[fesyen]ria daripada momong anaknya.
Di era yang serba praktis dan canggih seperti sekarang ini, tidak hanya elektronik yang menjadi semakin simple dan mini. Para wanitapun berlomba-lomba untuk selalu tampil mini. Baik pola pikir, maupun pakaian mereka, sebagai imbas dari perkembangan zaman.Tapi tahukah anda apabila kita memandang rok mini mereka tidak usah lama-lama lah sekitar 5 menit saja, pasti mereka akan dengan sinis  mengatakan…iih norak banget  sih loe kayak ndak pernah liat paha ja!??(dengan muka masam dan mulut me-memble). Jadi salahkah kalau para lelaki itu menjadi horny ketika melihat tubuh molek para wanita?sampai terjadi hal yang yang tidak diinginkan?!!.
Kadang saya tertawa geli dan tak habis pikir melihat ibu-ibu gembrot atau wanita yang sudah uzur, dengan susah payah berdandan serba ketat dan mini, kemudian dengan pedenya jalan ke mall. Mereka tidak sadar kalau tubuh mereka itu sudah peot dan paha mereka sudah banyak timbul selulit. Dibenak mereka hanya ingin tampak seksi seperti artis sinetron kesayangannya. Contoh kasus lagi tentang para remaja putri yang menurut saya saltum, ketika dingin mereka memakai rok pendek pas udara panas mereka memakai pakaian komplit, apakah itu bukan hal terbalik? Atau mereka sudah tak takut lagi kena masuk angin atau angin masuk?
Kenyataannya  pengaruh budaya massa telah berhasil menurunkan pola hidup masyarakat kita ke level yang lebih rendah. Ditempat tinggal saya sekarang ini (pontianak dan singkawang) banyak sekali saya jumpai para remajanya khususnya anak-anak SMA, mereka lebih cenderung bergaya ala artis (fesyen ala barat), apalagi   didukung pula dengan postur mereka yang cantik dan memiliki body yang aduhai montoknya. Dalam kegiatan ekstrakurikuler saya kadang  merasa risih ketika menemukan siswi saya memakai pakaian yang menurut saya kurang pantas dipakai disekolah. Hal itulah yang Terkadang  menjadikan saya sebagai guru seni budaya susah untuk menumbuh- kembangkan prinsip kebudayaan lokal. Jadi apabila dari teman-teman ingin melihat dara cantik atau kami biasa menyebutnya “amoi”, mainlah ketempat saya dijamin puas melototnya,..hehehe…karena kecantikan mereka selevel dengan artis-artis ibu kota.sueeer..!!!!
Wanita ibarat sebuah permen apabila dibungkus dengan rapi maka kadar manisnya akan tetap terjaga. Begitupun sebaliknya apabila permen itu selalu terbuka maka pasukan semut akan menyedot habis manis gulanya, dan dapat dipastikan tidak akan ada orang yang mau menyentuhnya lagi. Wanita diciptakan untuk disayangi, dilindungi dan diangkat martabatnya ke level yang lebih tinggi. Sebagaimana kita menghormati ibu yang telah melahirkan kita.
Kebahagiaan seseorang lelaki adalah ketika dia dengan sadar dan pasrah berani menentukan jalan hidupnya dan terus berjuang mewujudkan mimpinya dengan seseorang yang dia cintai, walaupun harus dengan rela berpisah dengan hal-hal yang menjadi kesenangannya (hijrah hati dan fisik). Menurut saya kecocokan antara dua insan adalah tidak dilihat dari kesamaan sikap maupun sifat person-nya, misalnya satunya suka pecel maka satunya juga suka. Akan tetapi pondasi keharmonisan dibangun apabila ada perbedaan pada diri tiap pasangan yang disikapi dengan kedewasaan, sehingga dapat saling menutupi kekurangan masing-masing, perbedaan itu akan  menjadi sebuah unity harmonic. Perbedaan merupakan suatu nikmat mencapai kesempurnaan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan sebuah kesadaraan untuk saling berbagi. Komitmen seperti ini adalah harga yang pantas dari sebuah hubungan serius.
Kesakitan, kesendirian, kebosanan, mandeknya kretivitas, jauh dari komunitas adalah sebuah irama yang mengalun harmonis, dan saya berusaha untuk tetap bersyukur. Pintu terwujudnya sebuah impian adalah ketika kita sudah merasa aman dan nyaman soal cinta. Salah satu kebahagiaanku dalam hidup ini adalah karena dia tahu “cintaku” bukan  hanya untuknya.

hanung
Singkawang, 3 juni 2010