hanya denganmu……
jiwa ini tak pernah mati
Sebait puisi yang aku tulis diatas sebagai ungkapan rasa cinta pada Matahariku, perempuan yang aku cintai sebagai titik tolak dalam berkarya, disaat membaca isyarat tema pameran Pintu Mati, yakni Kakawin Kawin. Aku kali ini mengambil kata “api” dan "wanita" untuk mewujudkan visualisasi karya dalam pameran ini. Kedua kata, yakni "api" dan "wanita" bagi aku memiliki beragam makna dalam kehidupan maupun dalam bentuk imagi gagasan menghadirkan bentuk yang multi dimensi.
Api dan wanita, disepanjang jalan kehidupan manusia, selalu masuk dan merangsek didalam dada setiap manusia, khususnya dalam kehidupanku selama ini. keduanya dapat berupa realitas yang “berwujud“ suatu panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar dan menyala atau sebagai ungkapan metafora yang menggambarkan adanya sisi-sisi dan situasi ‘panas’. Karena kenyataan semacam itulah, maka “Api” baik sebagai kenyataan maupun kiasan menjadi multi fungsi. Dari sinilah aku berpijak bahwa, Di dadamu ada api menjadi tema dalam karya-karyaku ini yang aku tampilkan secara visual kedalam bentuk figure wanita yang memperlihatkan (jantung serta bara “api” yang menyala), sekali lagi “api” bermuatan berbagai metafora yang diisyaratkan kebentuk pose atau gesture vigur wanita. Di dadamu ada api, mengisyaratkan dua hal sekaligus, yaitu : api yang memiliki napas memberi, mengkhangatkan, menyelamatkan, bahkan menyejukkan jiwa. Namun dibalik itu api juga memberi pelajaran kepada manusia akan peringatan , seperti kalimat “jangan bermain api” awas ada api, “ aku terbakar api asmara”. Selain itu juga bisa dimaknai sebagai api yang membakar dan memusnahkan kehidupan. Secara kodrati “Api” dimaknai dua hal : pertama, api sebagai semangat jiwa dalam kehidupan. Kedua, api sebagai bara yang sangat berbahaya. Di dadamu ada “api” berposisi sebagai sebab dan akibat sekaligus. Sebagai sebab, karena ia berpotensi sebagai “membakar”, sebagai akibat api dapat membuat siapapun sebagai kurban. Api menjadi ancaman, membakar, menghangatkan pikiran, peraaan siapapun bahkan dapat memusnahkan harapan.
Aku juga menagmbil kata "wanita", wanita dalam madyaning bebrayan jawa sering dimaknai dengan perubahan kata yang memang sepadan, wanita dapat sebagai : wanodya, wadon, wadu, wadhah, atau menjadi wadi. Berbagai kosakata bahasa Jawa tersebut diatas mengandung arti , bahwa wanita diperumpamakan sebagai wadah, yaitu sebuah tempat bersemayamnya wiji (benih kehidupan) serta wadi sesuatu hal yang terbungkus rapat, sacral. Sesuatu yang suci, sakral dan privasi tersebut dapat dibuka dan diketahui hanya orang-orang yang dianggap pantas untuk mendapatkan kehormatannya., tentu laki-laki yang dicintai sepenu hati, lahir batin. Itu semua sesuatu yang telah berlalu.Dalam perkembangann zaman pada dewasa ini, sebab majunya akan teknologi, infprmasi dan industri, kini makna wanita berubah. Pada kenyataannya wanita pada zaman ini hanya sebagai obyek nafsu badani hegemoni laki-laki terhadap perempuan, yang seharusnya suci, sakral dan dihormati kehormatannya, wanita kini menjadi obyek sedemikian rupa, sehingga mudah dibuka dan ditelanjangi, wanita tidak sakral lagi. .Kaum laki-laki telah terlupa, bahwa kelahirannya didunia, berasal dari rahim perempuan yang bernama Ibu. Laki-laki kini tak memahami arti cinta dan rasa saling hormat terhadap hakikat wanita.Sebagai ilustrasi, aku contohkan dalam kisah Mahabarata, konon seorang Prabu Mahabisa hidupnya terkena siku denda jawata, sebab gara-gara matanya mengintip kemaluan wanita (aurat) dengan tidak senonoh. Pada hal pada saat itu sedang dilaksanak upacara sesaji di hadapan Sang Hyang Brahma. Upacara diadakan oleh para dewa, untuk memilih para raja pinilih yang kelak diperbolehkan menempati kahyangan. Prabu Mahabisa, secara manusiawi memang tidak bersalah, ketika saat melakukan puja-puja japa mantra, tiba-tiba datang angin kencang yang bertiup dan mengakibatkan busana Dewi Gangga tersingkap lebar-lebar, Ndilalah, mata Prabu Mahabisa sepintas melihat aurat Dewi Gangga, akibat busananya tersingkap dan terlihatlah kerhormatannya. Padahal saat itu semua yang hadir dan seluruh para Dewa menunduk khusuk dalam hanyutnya upacara sesaji tersebut, tentu siapapun tidak mungkin dan tidak berani berbuat macam-macam, apalagi melihat sesuatu yang memang diharamkan untuk dilihat, tetapi aneh Prabu Mahabisa, secara refleks matanya melihat keadaan Dewi Gangga telanjang sebagian tubuhnya, akibat tertiup angin. Takdirpun berlaku, keadilan ditegakkan dilangit kahyangan.Para Dewa, yang memang ngerti sakdurunge winarah, membiarkan mata Prabu Mahabisa liar melihat kemolekan tubuh Dewi Gangga. Keputusan ditetapkan, akhirnya Prabu Mahabisa dan Dewi Gangga dikutuk para Dewa dan untuk turun kembali hidup di mayapada. Di mayapada menjadi Raja Astina yang bergelar Prabu Prapita, kemudian Dewi Gangga menjadi istri sang Prabu Prapita , yang menjadi cikal bakal dalam menurunkan raja-raja Bharata. dari darah inilah akhirnya dari waktu kewaktu, dari zaman ke zaman pertikaian, permusuhan, peperangan antar saudara tidak pernah berakhir, puncaknya di Padang Kurusetra terjadi perang dahsyat yang menghabiskan keluarga Bharata, sebab kutukan dewa, akibat para sesepuh mereka melakukan perbuatan yang melanggar aturan Kahyangan, hanya akibat melihat aurat wanita.
Sebagai penanda penghormatan kepada wanita, dalam karyaku di dadamu ada api mengisyaratkan adanya harapan, cinta, semangat untuk rasa memiliki, kepada perempuan yang dicintai dengan penggambaran bersemayamnya api spirit cinta dan romansa, yang tetap menghormati kesucian wanita. Karya ini aku lahirkan sebagai penghormatan suci kepada wanita, yang terinspirasi dari puisi Rendra yang berjudul : Hai, Ma!.Inilah spirit puisi selengkapnya,yang mengiringi kelahiran karyaku kali ini.
HAI, MA!
Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.
Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan kemana-mana.
Hawa dingin
masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran.
Tidak ada perasaan.
Tidak ada suatu apa.
Hidup memang fana, ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.
Kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku bicara
tetapi orang-orang tidak mendengar.
Mereka merobek-robek buku
dan mentertawakan cita-cita.
Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.
Hidup memang fana, ma!
itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di savanna
Membuat hidup tak ada harganya.
Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana ke mari.
Mulut berbusa
sekadar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa-basi.
dan orang- orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.
Hidup memang fana
Tentu saja, ma!
Tetapi acrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.
Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
di dalam hidup ini.
Tetapi, ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
dengan puteranya.
Hudup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.
Mengingat kamu, ma,
adalah mengingat kewajiban sehari- hari,
kesederhanaan bahasa prosa
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, ma!
Masing pihak punya cita-cita.
Masing pihak punya kewajiban yang nyata.
Hai, ma!
Apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciunaman di lehermu?
(Masya Allah!
Aku selalu kesengsem
pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
“Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna.”
Wah, aku memang tidak rugi
Ketemu kamu di hidup ini.
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.
Sudah, ya, ma!
Salam Pintu Mati
Dari jiwa yang tak pernah mati
Ireng Digdo Irianto
Maju Terus Komunitas Pintu Mati pak Digda dan temen2. Salam kangen dari anak dan menantumu
BalasHapusApakah mayapada sama dengan aracapada ?????
BalasHapus